Mencegah
terjadinya pergaulan bebas merupakan kewajiban karena ia termasuk dalam
kategori kemungkaran. Namun, upaya-upaya yang dilakukan selama ini
tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan. Hal itu dibuktikan oleh fakta
bahwa individu yang terlibat pergaulan bebas masih lebih banyak di
banding mereka yang tidak melakukannya.
Yang lebih memperihatinkan, bahwa yang demikian itu tidak hanya
terjadi di tempat-tempat yang tergolong mudah untuk dijadikan ajang
maksiat seperti diskotik dan bar, tetapi juga terjadi di tempat-tempat
yang notabene berdekatan dengan kawasan suci seperti masjid dan
mushalla. Yang sangat mengkhawatirkan juga, pergaulan bebas ternyata
tidak hanya dilakukan oleh kalangan dewasa saja, tetapi juga remaja.
Profesi para pelakunya pun beragam. Ada yang merupakan pekerja
profesional, pejabat pemerintahan, termasuk anak sekolahan. Kesemua ini
membuktikan betapa penanganan pergaulan bebas selama ini tidak
membuahkan hasil.
Bagi sebahagian kalangan, problem utama dari permasalahan ini
terletak pada minimnya akses pendidikan agama sehingga mereka
berlomba-lomba dalam membangun berbagai lembaga pendidikan agama seperti
pesantren, madrasah dan perguruan tinggi. Namun, pada kenyataannya,
usaha ini nyatanya menemui kegagalan.
Sebagai contoh, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah selaku
universitas Islam terbesar di negeri ini pun nyatanya tidak mampu
mencegah para mahasiswanya dari melakukan bentuk-bentuk pergaulan bebas
seperti pacaran, khalwat dan ikhtilat.
Sebagian kalangan yang lain menilai bahwa problem utama terletak pada
minimnya dai-dai yang berkualitas sehingga mereka membuat solusi
sendiri berupa pengadaan pelatihan-pelatihan yang bertujuan mendidik
para dai agar berkualitas—baik dari sisi materi dan cara
penyampaian—sehingga mampu mencegah terjadinya pergaulan bebas di
masyarakat.
Meski cara ini terbilang berhasil, tetapi tingkat keberhasilannya
sangat minim dan lambat. Oleh karena itu, umat tidak bisa mengandalkan
penanganan problem pergaulan bebas hanya lewat kegiatan-kegiatan tabligh
atau ceramah agama dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan agama.
Umat harus melakukan alternatif-alternatif lain yang bisa mencegah
terjadinya penyimpangan pergaulan dalam masyarakat. Dalam tulisan ini,
BKLDK menawarkan empat strategi guna mencegah terjadinya pergaulan bebas
di tengah masyarakat:
Pertama, memperbaiki akidah. Dalam usaha menangani
problem ini, akidah harus diutamakan sebab apabila seorang muslim telah
memiliki akidah yang benar (akidah disebut benar apabila ia telah
mengerti konsepsi akidah Islam dan meyakini betul kebenarannya), maka
akan mendorong orang tersebut untuk beraktivitas sesuai syariah. Orang
yang telah benar akidahnya, maka ia akan berusaha menyelaraskan
perbuatan-perbuatan kesehariannya—termasuk bentuk pergaulannya—dengan
hukum-hukum Islam.
Kedua, memperbaiki pemikiran dan pengetahuan.
Pergaulan bebas adakalanya terjadi akibat ketidaktahuan seseorang
mengenai hukum pergaulan bebas itu sendiri. Terhadap orang yang seperti
ini, cukup diberitahu saja mengenai hukum pergaulan bebas menurut Islam.
Apabila akidah orang tersebut sudah betul, tentu ia akan menuruti apa
yang disampaikan kepadanya. Sebaliknya, apabila ia masih belum menerima,
bisa menunjukkan salah satu dari dua kemungkinan: (1) akidahnya belum
betul (2) ia masih belum menerima informasi yang disampaikan kepadanya.
Terhadap orang yang pertama, tentu kita harus beranjak kepada
perbaikan akidahnya terlebih dahulu, baru setelah itu beranjak kepada
pemberian ma’lumat (informasi) mengenai hukum pergaulan bebas kepadanya.
Adapun terhadap orang yang kedua, maka kita harus terus memberitahukan
kepada orang tersebut argumentasi-argumentasi syar’i yang sedetail
mungkin hingga ia memahami betul akan hukum pergaulan bebas menurut
Islam.
Sedangkan yang dimaksud dengan memperbaiki pengetahuan adalah bahwa
kalau kita memperhatikan, maka akan kita dapati ada banyak pengetahuan
keliru bahkan menyesatkan yang beredar di tengah masyarakat. Salah satu
contohnya adalah mengenai penanganan kasus HIV/AIDS. Saat ini, LSM
bidang kesehatan dan media massa terus menerus memberikan informasi
bahwa upaya terbaik dalam mencegah laju penyebaran HIV/AIDS adalah
dengan program kondomisasi dan penyuluhan bahaya HIV/AIDS.
Menurut
mereka, jika kedua program ini berhasil dilakukan, maka akan berdampak
pada tidak meningkatnya kasus-kasus HIV/AIDS. Padahal, pada faktanya
tidaklah demikian.
Cara-cara tersebut sudah terbukti tidak mampu menangani penyebaran
HIV/AIDS. Yang justru malah terjadi adalah semakin masifnya penyebaran
penyakit yang belum ada obatnya ini. Karena cara-cara di atas sudah
terbukti ketidakberhasilanya, maka akan memudahkan kita dalam
menjelaskan hikmah syariat Islam berupa larangan berzina dan kebenaran
Islam itu sendiri. Sebab dalam Islam, penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS
dipandang termasuk azab Allah akibat merebaknya perbuatan zina di
tengah masyarakat. Rasulullah saw bersabda:
“Yâ ma’syaral muhâjirîn! Khamsun idzâ ubtuliytum bihinna, wa a’ûdzu
billâh an tudrikûhunna: lam tazhhar al-fâhisyah fî qowmin qathth, hattâ
yu’linû bihâ, illâ fasyâ fîhim al-thâ’ûn wa al-awjâ’u allatî lam takun
madhat fî aslâfihim alladzîna madhaw…” (HR. Ibnu Majah).
(Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian,
maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada
Allah SWT, semoga kalian tidak menemui zaman itu. Lima perkara itu
ialah: (yang pertama) Tidak merajalela praktik perzinaan pada suatu
kaum, sampai mereka berani berterusterang melakukannya, melainkan akan
terjangkit penyakit menular dengan cepat dan mereka akan ditimpa
penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang lalu…)
Ikrimah bercerita bahwa ia pernah mendengar Ka’ab berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhum:
“Idzâ ra`aytum al-mathar qad muni’a fa’lamû anna al-nâs qad mana’û
al-zakâh famana’allâhu mâ ‘indahu wa idzâ ra`aytum al-wabâ`a qad fasyâ
fa’lamû anna al-zinâ qad fasyâ.”
(Jika engkau melihat hujan tertahan, maka ketahuilah bahwa pada saat
itu manusia telah menahan zakatnya sehingga Allah pun menahan apa yang
ada pada-Nya. Dan jika engkau melihat bahwa wabah penyakit merebak, maka
ketahuilah bahwa pada saat itu praktik perzinaan telah merajalela).
Ketiga, memperbaiki bahasa. Mengapa bahasa harus
diperbaiki? Sebab dalam masyarakat, peristiwa hamil di luar nikah bukan
lagi suatu aib. Bila hamil di luar nikah dianggap bukan sebagai aib,
maka perbuatan yang menjadi sarananya (baca: zina) juga tidak dianggap
sebagai aib. Padahal, para ulama terdahulu menganggap zina sudah
merupakan perbuatan yang luar biasa jahatnya—sehingga tatkala membahas
dalam kitab-kitab mereka—para ulama menggunakan bahasa yang buruk dalam
mendeskripsikan perbuatan zina.
Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (w. 972 H) misalnya,
menyebut zina sebagai akbar al-kabâ`ir ba’da al-qatli (dosa terbesar
setelah membunuh). Syaikh Muhammad al-Khathib al-Syarbini (w. 977 H)
menyebut zina sebagai min afhasy al-kabâ`ir (perbuatan yang termasuk
sejelek-jeleknya dosa besar) dan Syaikh Manshur bin Yunus al-Bahuti (w.
1051 H) mendefinisikan zina sebagai fi’l al-fâhisyah fî qubul aw dubur
(perbuatan keji terhadap kemaluan bagian depan atau kemaluan bagian
belakang).
Itulah sebagian contoh mengenai bagaimana para ulama terdahulu
menciptakan image buruk terhadap praktik zina. Yang patut diperhatikan
di sini adalah bahwa para ulama ketika menjelaskan sesuatu sebagai
sesuatu yang buruk, bukan karena hawa nafsu melainkan karena sesuatu itu
memang sudah dijelaskan sebagai sesuatu yang buruk oleh Alquran dan
sunnah Rasulullah saw. Berbeda halnya dengan kebanyakan orang zaman
sekarang, yang memberikan image buruk terhadap sesuatu hanya karena
berdasar hawa nafsu belaka.
Keempat, memperbaiki sistem negara. Mengingat cukup
rumitnya penjelasan dalam bagian ini, maka untuk pembahasan strategi
keempat akan dijelaskan dalam tulisan berikutnya, insyâ Allâh.
Catatan Akhir:
Untuk mengetahui berita-berita yang berkenaan dengan kasus di atas,
lihat,
http://berita.liputan6.com/daerah/201006/280381/Bejat.Ustad.Mesum.di.Kamar.Mandi.Masjid,
http://www.jpnn.com/read/2011/01/10/81521/Pasangan-Mesum-Kepergok-di-WC-Masjid-,
http://www.sumutcyber.com/?open=view&newsid=15471&cat=1115&pid=3,
http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=20504&tit=Berita%20Utama%20-%20%20Kepergok%20Ciuman%20di%20WC%20Masjid.
Ibnu Mājah, Sunan Ibn Mâjah juz II (Beirut: Dār al-Kitāb al-Banānī, t.t.), hadits no. 4019, h. 1332-1333.
Nashr bin Muhammad al-Samarqandī, Tanbîh al-Ghâfilîn (Semarang: Karya Putra, t.t.), h. 131.
Hal
ini dikarenakan para ulama sudah bersepakat bahwa zina adalah perbuatan
keji yang luar biasa. Lihat, Abdul Wahhāb al-Sya’rawī, Kitâb al-Mîzân
juz III (Beirut: ‘Âlim al-Kutub, 1409 H/1989 M), h. 312.
Zainuddīn
bin Abdul Azīz al-Malībārī, Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ayn
(Surabaya: Dār al-Nasyr al-Mishriyyah, t.t.), h. 128.
Muhammad
al-Khathīb al-Syarbīnī, Mughnî al-Muhtâj; ilâ Ma’rifah Ma’ânî Alfâzh
al-Minhâj juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, 1429 H/2009 M), h. 177.
Manshūr
bin Yūnus al-Bahūtī, al-Rawdh al-Murabbi’ bi Syarh Zâd al-Mustaqni’ juz
I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H/1988 M), h. 384.
Sumber : http://dakwahkampus.com/pemikiran/pergaulan/1538-strategi-mencegah-pergaulan-bebas.html
Sunday, 2 September 2012
Strategi Mencegah Pergaulan Bebas
00:52:00
No comments
0 komentar:
Post a Comment