Islam meletakkan para intelektual
dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan sekaligus pelindung mereka
dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan umat. Dengan pengetahuan
mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, intelektual adalah pihak
yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan kondisi umat.
Sayangnya sistem kapitalistik telah
menghancurkan peran utama para intelektual ini dan menjatuhkan kedudukan mereka
sekedar sebagai agen ekonomi yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Para
intelektual dalam sistem kapitalistik justru dipersiapkan untuk mempersiapkan
undang-undang yang melegitimasi sepak terjang para kapitalis untuk merampok
kekayaan alam. UU Penanaman modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber
daya air, semua itu adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis.
Intelektual dalam sistem
kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang
terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan
bekas tambang, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan
teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu ada dalam
arahan dan dominasi para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan pengetahuan
dan para pemilik pengetahuan sebagai budak-budak mereka. Dengan system
pendidikan yang ada di Indonesia misalnya, hampir bisa dipastikan akan semakin
banyak mencetak intelektual yang hanya bertindak sebagai buruh-buruh murah bagi
mereka. Kapitalisme juga membajak para intelektual untuk menjadi agen-agen
asing yang melapangkan jalan disintegrasi bangsa. Dengan dukungan penuh
kekuatan para kapitalis dari berbagai lini, negara tak sanggup menghadapi
mereka.
Sebenarnya, jumlah total pakar di
Indonesia dari berbagai disiplin ilmu, bukan hanya ribuan, melainkan jutaan,
sebanding dengan jutaan permasalahan yang dihadapi oleh umat dewasa ini. Mulai
dari problematika yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosial dan kultur
budaya. Sayangnya, semua problematika tersebut tidak secara tuntas dapat
teratasi oleh para pakar yang fitrahnya seharusnya berkompeten mengatasi
problematika tersebut. Sebaliknya secara faktual, lahirnya para pakar ternyata
malah melahirkan masalah baru. Mulai dari penipuan, korupsi, pengangguran, pemborosan
uang negara, manipulasi penggunaan uang rakyat, hingga penyalagunaan sumber
daya alam yang semestinya dapat dikelola dengan optimal melalui pemberdayaan
kepakaran kaum intelektual, malah berujung kesengsaraan rakyat dan generasi
dalam bentuk ketergantungan bangsa ini terhadap produk luar negeri. Hal
yang ironi karena bahan bakunya sangat surplus di Indonesia. Ini benar-benar
kesalahan sistemik yang sulit diselesaikan, kecuali dengan metode sistemik
pula.
Di sisi lain, kita juga melihat
fenomena lebih senangnya para intelektual berkiprah di negara-negara maju
dibandingkan mengabdi dan membangun negerinya sendiri dikarenakan masalah
pendapatan dan penghargaan yang tak sebanding dengan yang mereka terima jika
mereka di LN. Warga negara Indonesia yang mendapat kesempatan bersekolah di LN
dengan beasiswa atau berkiprah di sana pada dasarnya adalah SDM terpilih
sehingga merupakan asset bangsa. Keunggulan merekalah yang menyebabkan mereka
juga mendapat peluang untuk lebih lama di LN dengan tawaran penelitian lanjutan
atau bekerja di perusahaan di sana. Betapa banyak dosen dan peneliti yang
capai-capai disekolahkan pemerintah, ternyata kemudian lebih asik bekerja di
negara tetangga atau negara tempat mereka pernah bersekolah.
Karenanya saat ini penting untuk
melakukan reposisi peran intelektual. Reposisi untuk mengembalikan posisi
mereka sebagaimana yang diajarkan Islam yakni sebagai pembimbing dan
pemersatu umat untuk mewujudkan bangsanya yang besar, kuat dan terdepan dalam
naungan khilafah Islam, bukan mengabdi pada bangsa lain. Umat
membutuhkan peran intelektual yang sanggup membimbing mereka. Intelektual
yang mampu memetakan potensi dan memberi solusi yang benar untuk memecahkan
berbagai persoalan umat. Umat membutuhkan intelektual yang sanggup berdiri di
hadapan para penjajah untuk membela mereka dengan pengetahuan yang benar.
Intelektual yang berjuang mengembalikan SDAE ke tangan umat dan memelihara
kesatuan mereka dalam negara yang kuat yakni khilafah. Umat membutuhkan
intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Umat
membutuhkan intelektual sejati yang memahami ideologi Islam dan
menanamkannya ke tengah-tengah umat. Merekalah Intelektual sejati (ulul albab)
yang akan menghentikan penjajahan (non fisik) hari ini untuk menyelamatkan generasi
sekarang dan di kemudian hari. Mereka adalah orang-orang yang dicirikan dengan
karakter-karakter di bawah ini :
1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS 3:7) dan memikirkan ciptaan Allah (QS
3:190).
2. Mampu memisahkan yang jelek dengan yang baik. Kemudian mereka memilih yang
baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun
kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang (QS 5:100)
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori,
preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang lain. Mereka mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal (QS 39:18)
4. Menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberikan peringatan
kepada masyarakat (QS 14:52).
5. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah (QS 5:179 dan 65:10).
Secara ringkas, agar seorang
intelektual muslim bisa mereposisi perannya menjadi intelektual sejati, maka
ada tiga hal yang harus senantiasa melekat pada dirinya:
- Memiliki kepakaran/keahlian tertentu sesuai dengan bidang yang dikuasainya
- Memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya. Untuk itu dia harus memiliki metode berfikir yang benar, yang dia gunakan untuk memahami realitas sesungguhnya, yaitu metode berfikir aqliyah (rasional). Sebaliknya, sekalipun arus di dunia intelektual mengajarkan untuk menjadikan metode berfikir ilmiah sebagai satu-satunya metode berpikir, seorang intelktual muslim sejati akan tetap bisa menempatkan metode berfikir ilmiah sesuai dengan porsinya yang tepat.
- Memahami ideologi Islam sebagai sumber solusi yang dia gali untuk menyelesaikan semua jenis problematika masyarakat yang dihadapinya. Sehingga pemikiran/ konsep yang disampaikannya tidaklah bersifat praktis dan bertarget pragmatis saja. Tapi harus sampai pada tataran ideologi yang akan membentuk sistem. Dengan kata lain, seorang intelektual muslim haruslah senantiasa ideologis, tidak a-politis, dan membatasi pemikirannya pada satu kebidangan/kepakaran tertentu saja.
0 komentar:
Post a Comment