Para intektual muslim seharusnya
tumbuh dan berkembang di atas pilar aqidah aqliyah, suatu proses
pemahaman terhadap alam semesta, manusia dan kehidupannya melalui pemikiran
secara utuh dan terintegrasi. Konsep ini harus ditanamkan sejak manusia
mengenal dunia pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Secara rinci
dapat disebutkan bahwa niat untuk menjadi pakar sudah harus diluruskan sejak
awal dan akan secara otomatis terpenuhi, ketika seseorang paham akan posisi
dirinya terhadap Sang Pencipta. Kepakaran yang diraih melalui proses pembinaan
berbasis aqidah dan syariat Islam pasti akan diperuntukkan sesuai tuntutan
kompetensi yang diinginkan Islam, yaitu untuk menyelesaikan permasalahan dan
mewujudkan kemaslahatan umat. Inilah alasannya, kenapa kepakaran harus dibangun
di atas pilar aqidah dan syariah Islam. Kepakaran yang seperti inilah yang akan
mewujudkan umat yang mulia di hadapan Sang Pencipta, yaitu umat yang bertaqwa.
Seseorang yang pakar di bidang sains dan teknologi misalnya, harus paham benar
untuk apa alam semesta ini diciptakan, apa yang terkandung di dalam alam
semesta ini, bagaimana mengeksplorasinya, mengelolanya dengan benar dan
memanfaatkannya dengan amanah untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan
bekerjasama secara sinergi, melibatkan para pakar dari berbagai bidang minat,
akan terciptalah suatu sistem yang berkembang di atas kehidupan yang rahmatan
lil’alamin secara global, bukan hanya di Indonesia. Allah menciptakan Islam
untuk seluruh umat di dunia, sebagai satu-satunya agama yang telah
disempurnakan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Jadi kepakaran yang
dikembangkan berbasis pada aqidah dan syariah Islam merupakan jaminan untuk
dapat menyelesaikan permasalahan umat sedunia. Visi ini akan terwujud secara
riil, ketika pada tataran implementasinya ditopang oleh sistem yang kondusif
dan mendunia pula, yaitu sistem kehidupan yang menerapkan syariah kaaffah di
bawah naungan daulah khilafah Islamiyah.
Bagaimana fakta kiprah intelektual
hari ini? Para intelektual yang seharusnya mengemban amanah menyelesaikan
problematika masyarakat atau umat, mulai dibelokkan dari tujuan mulia ini
dengan menggiring aktivitasnya untuk kepentingan yang sifatnya personal atau
golongan tertentu, yang ujung-ujungnya untuk kemakmuran pribadi. Fitrah
penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan
Sang Khaliq seperti uraian di atas, sudah banyak dilupakan. Bahwa hakekat
penciptaan manusia dan bahkan jin tidak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya,
dan bahwa salah satu manivestasi ibadah adalah menuntut ilmu, sehingga
dengannya kita bisa mengeksplor kekayaan alam semesta yang telah dihamparkan
oleh Allah SWT, selanjutnya hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat untuk
mewujudkan rahmatan lil’alamin, mulai ditinggalkan. Dampak semua ini
adalah sebuah ironi bahwa lahirnya para pakar ternyata justru meningkatkan
kuantitas dan juga kualitas problematika umat.
Gejala pergeseran orientasi peran
strategis para intelektual terhadap keberlangsungan kehidupan dunia ternyata tidak
hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Kenapa hal ini terjadi?
Jawabnya adalah sistem kehidupanlah yang menjadi faktor kuncinya. Ideologi
kapitalisme-liberalisme yang bersumber dari sekulerisme, yang telah
memposisikan agama sebagai suatu ajaran yang harus dijauhkan/dikeluarkan dari
siklus kehidupan manusia, menjadikan kebebasan meraih kebahagiaan dunia dan
kenikmatan jasadiah menjadi instrumen atau alat ukur di seluruh lini kehidupan.
Ideologi inilah yang hari ini menguasai kehidupan para intelektual di era
global, sehingga mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berproses dan
melakukan aktualisasi diri secara fitrah, karena dibelenggu oleh tuntutan
berpikir secara pragmatis dan instan. Kenapa kedua ideologi tersebut dapat tumbuh
subur? Karena keduanya menawarkan kemudahan-kemudahan untuk mencapai
kebahagiaan semu yang banyak diidam-idamkan oleh manusia. Mereka menghadang
semua upaya untuk mengkondisikan para pakar mengenali dirinya sebagai manusia
secara hakiki.
Mari kita melihat sedikit ilustrasi
yang membandingkan antara profil intelektual bentukan Barat dengan Islam.
Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris.
Oxbridge, begitu biasa disingkat– jadi pusat riset ilmu dan teknologi
yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan
Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan
yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi
karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman,
ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa
sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia
bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap
dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan
memisahkan “aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya
batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika
dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di
kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid.
Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan
contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang
memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik,
Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh
ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial Islam,
tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak menjalankan
ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara otomatis akan
tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan pemberitaannya
diragukan.
Dalam sejarahnya, Oxbridge mengalami
beberapa ketegangan dengan gereja, isunya beragam, tapi dasarnya sama: yaitu
jika pengembangan ilmunya dianggap bertentangan dengan doktrin Kristen.
Ketegangan itu baru reda setelah “gereja tahu diri” dan membatasi
perannya di altar dan mimbar khotbah saja, tidak merambah ke ilmu pengetahuan.
Gereja terpaksa mensekulerkan dirinya agar tidak seratus persen di buang dari
masyarakat Oxbridge, bahkan lebih luas lagi dari masyarakat Barat. Inilah awal
dari fenomena maraknya fenomena “spesialisasi sempit” di kalangan intelektual
saat ini, yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain.
Sebaliknya, Madinah, Damaskus, dan
Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of
knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika,
ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti
oleh para ulama. Prof. Wan Mohd Nor menulis, bahwa tradisi keilmuan dalam Islam
tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuwan-ilmuwan Islam
dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang. [1]
Mereka hafal Al-Qur’an, hafal ribuan
hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang
sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan
itu. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan Islam
ialah mereka tidak sekedar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda,
tetapi dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara
bersamaan.
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai
Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter
kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang
penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi
dan pengobatan. Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan
sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan
ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan). Dia juga
dikenal sebagai Bapak Ekonomi, Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa
intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi
juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului
Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para
pemikir Barat modern tersebut.
Tabel Perbandingan Profil
Intelektual
No
|
INDIKATOR
|
ISLAM
|
BARAT
MODERN
|
1
|
Aqidah
|
Tauhid
|
Sekular-Atheis
|
2
|
Kepribadian
|
Islam
|
Sekuler / Komunis
|
3
|
Kecenderungan Akal
|
Tunduk pada wahyu, akal
diberdayakan sesuai tuntunan wahyu
|
Memuja Akal/ Rasio
|
4
|
Metode Berpikir
|
Metode Rasional dan mampu
menempatkan metode ilmiah pada tempatnya
|
Metode Ilmiah/ empirik, berfikir
induktif, tidak mudah percaya kesimpulan, terpenjara pada teori-teori
|
5
|
Karakter pemikiran
|
Holistik, komprensiv, tapi tetap
mendalam (‘amiq)
|
Parsial kebidangan, mendalam di
satu ranah
|
6
|
Kecenderungan pilihan Identitas
|
Islam ideologis, bangga akan jati
dirinya sbg Muslim
|
Universal yg mengarah ke plural,
Anti yang berbau sectarian (termasuk agama)
|
7
|
Keahlian/ Penguasaan Ilmu
|
Fokus hanya pada satu bidang saja
|
Multidisiplin, menguasai berbagai
disiplin ilmu
|
8
|
Kesadaran Politik
|
Tinggi, identik dengan seorang
pejuang (muharrik+mujahid)
|
a-politis, terbelenggu pada bidang
keilmuannya
|
9
|
Kesalehan sosial
|
Sangat tinggi, penjaga kemashlahatan
umat dan penerapan hukum syara’ di tengah masy
|
Individualistik, pragmatis,
terbelenggu oleh syarat2 akademik, orientasi gelar, prestise dan
kesejahteraan
|
Begitulah ciri khas dari profil
intelektual muslim sejati, semakin tinggi keilmuannya semakin pula ia takut
pada Rabb-nya, semakin tinggi ilmunya semakin luas penguasaan bidang ilmunya
dengan tidak membatasi diri hanya pada satu bidang saja, semakin tinggi ilmunya
maka semakin tinggi pula semangat juangnya untuk melawan ketidakadilan, semakin
tinggi ilmunya semakin ia peduli dengan persoalan umat dan tidak sibuk hanya
mengejar target akademik demi kesejahteraan pribadi. Intelektual muslim sejati,
tentu tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki
kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii
sabilillah. Subhanallah itulah profil intelektual muslim sejati.
Sumber : menjadi intelektual muslim sejati
0 komentar:
Post a Comment