Monday 16 February 2015

INTELEKTUAL MUSLIM SEJATI




Para intektual muslim seharusnya tumbuh dan berkembang di atas pilar aqidah aqliyah, suatu proses pemahaman terhadap alam semesta, manusia dan kehidupannya melalui pemikiran secara utuh dan terintegrasi. Konsep ini harus ditanamkan sejak manusia mengenal dunia pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Secara rinci dapat disebutkan bahwa niat untuk menjadi pakar sudah harus diluruskan sejak awal dan akan secara otomatis terpenuhi, ketika seseorang paham akan posisi dirinya terhadap Sang Pencipta. Kepakaran yang diraih melalui proses pembinaan berbasis aqidah dan syariat Islam pasti akan diperuntukkan sesuai tuntutan kompetensi yang diinginkan Islam, yaitu untuk menyelesaikan permasalahan dan mewujudkan kemaslahatan umat. Inilah alasannya, kenapa kepakaran harus dibangun di atas pilar aqidah dan syariah Islam. Kepakaran yang seperti inilah yang akan mewujudkan umat yang mulia di hadapan Sang Pencipta, yaitu umat yang bertaqwa. Seseorang yang pakar di bidang sains dan teknologi misalnya, harus paham benar untuk apa alam semesta ini diciptakan, apa yang terkandung di dalam alam semesta ini, bagaimana mengeksplorasinya, mengelolanya dengan benar dan memanfaatkannya dengan amanah untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan bekerjasama secara sinergi, melibatkan para pakar dari berbagai bidang minat, akan terciptalah suatu sistem yang berkembang di atas kehidupan yang rahmatan lil’alamin secara global, bukan hanya di Indonesia. Allah menciptakan Islam untuk seluruh umat di dunia, sebagai satu-satunya agama yang telah disempurnakan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Jadi kepakaran yang dikembangkan berbasis pada aqidah dan syariah Islam merupakan jaminan untuk dapat menyelesaikan permasalahan umat sedunia. Visi ini akan terwujud secara riil, ketika pada tataran implementasinya ditopang oleh sistem yang kondusif dan mendunia pula, yaitu sistem kehidupan yang menerapkan syariah kaaffah di bawah naungan daulah khilafah Islamiyah.
Bagaimana fakta kiprah intelektual hari ini? Para intelektual yang seharusnya mengemban amanah menyelesaikan problematika masyarakat atau umat, mulai dibelokkan dari tujuan mulia ini dengan menggiring aktivitasnya untuk kepentingan yang sifatnya personal atau golongan tertentu, yang ujung-ujungnya untuk kemakmuran pribadi. Fitrah penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan Sang Khaliq seperti uraian di atas, sudah banyak dilupakan. Bahwa hakekat penciptaan manusia dan bahkan jin tidak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan bahwa salah satu manivestasi ibadah adalah menuntut ilmu, sehingga dengannya kita bisa mengeksplor kekayaan alam semesta yang telah dihamparkan oleh Allah SWT, selanjutnya hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin,  mulai ditinggalkan. Dampak semua ini adalah sebuah ironi bahwa lahirnya para pakar ternyata justru meningkatkan kuantitas  dan juga kualitas problematika umat.
Gejala pergeseran orientasi peran strategis para intelektual terhadap keberlangsungan kehidupan dunia ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Kenapa hal ini terjadi? Jawabnya adalah sistem kehidupanlah yang menjadi faktor kuncinya. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang bersumber dari sekulerisme, yang telah memposisikan agama sebagai suatu ajaran yang harus dijauhkan/dikeluarkan dari siklus kehidupan manusia, menjadikan kebebasan meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan jasadiah menjadi instrumen atau alat ukur di seluruh lini kehidupan. Ideologi inilah yang hari ini menguasai kehidupan para intelektual di era global, sehingga mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berproses dan melakukan aktualisasi diri secara fitrah, karena dibelenggu oleh tuntutan berpikir secara pragmatis dan instan. Kenapa kedua ideologi tersebut dapat tumbuh subur? Karena keduanya menawarkan kemudahan-kemudahan untuk mencapai kebahagiaan semu yang banyak diidam-idamkan oleh manusia. Mereka menghadang semua upaya untuk mengkondisikan para pakar mengenali dirinya sebagai manusia secara hakiki.
Mari kita melihat sedikit ilustrasi yang membandingkan antara profil intelektual bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Oxbridge,  begitu biasa disingkat– jadi pusat riset ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan “aqidah, akhlaq dengan  ilmu yang dikuasainya, kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan pemberitaannya diragukan.
Dalam sejarahnya, Oxbridge mengalami beberapa ketegangan dengan gereja, isunya beragam, tapi dasarnya sama: yaitu jika pengembangan ilmunya dianggap bertentangan dengan doktrin Kristen. Ketegangan itu baru reda setelah “gereja tahu diri”  dan membatasi perannya di altar dan mimbar khotbah saja, tidak merambah ke ilmu pengetahuan. Gereja terpaksa mensekulerkan dirinya agar tidak seratus persen di buang dari masyarakat Oxbridge, bahkan lebih luas lagi dari masyarakat Barat. Inilah awal dari fenomena maraknya fenomena “spesialisasi sempit” di kalangan intelektual saat ini, yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain.
Sebaliknya, Madinah, Damaskus, dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Prof. Wan Mohd Nor menulis, bahwa tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuwan-ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang. [1]
Mereka hafal Al-Qur’an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekedar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda, tetapi dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan.
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan.  Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi  dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah  (Pendahuluan). Dia juga dikenal sebagai Bapak Ekonomi, Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.
Tabel Perbandingan Profil Intelektual
No
INDIKATOR
ISLAM
BARAT MODERN
1
Aqidah
Tauhid
Sekular-Atheis
2
Kepribadian
Islam
Sekuler / Komunis
3
Kecenderungan Akal
Tunduk pada wahyu, akal diberdayakan sesuai tuntunan wahyu
Memuja Akal/ Rasio
4
Metode Berpikir
Metode Rasional dan mampu menempatkan metode ilmiah pada tempatnya
Metode Ilmiah/ empirik, berfikir induktif, tidak mudah percaya kesimpulan, terpenjara pada teori-teori
5
Karakter pemikiran
Holistik, komprensiv, tapi tetap mendalam (‘amiq)
Parsial kebidangan, mendalam di satu ranah
6
Kecenderungan pilihan Identitas
Islam ideologis, bangga akan jati dirinya sbg Muslim
Universal yg mengarah ke plural, Anti yang berbau sectarian (termasuk agama)
7
Keahlian/ Penguasaan Ilmu
Fokus hanya pada satu bidang saja
Multidisiplin, menguasai berbagai disiplin ilmu
8
Kesadaran Politik
Tinggi, identik dengan seorang pejuang (muharrik+mujahid)
a-politis, terbelenggu pada bidang keilmuannya
9
Kesalehan sosial
Sangat tinggi, penjaga kemashlahatan umat dan penerapan hukum syara’ di tengah masy
Individualistik, pragmatis, terbelenggu oleh syarat2 akademik, orientasi gelar, prestise dan kesejahteraan

Begitulah ciri khas dari profil intelektual muslim sejati, semakin tinggi keilmuannya semakin pula ia takut pada Rabb-nya, semakin tinggi ilmunya semakin luas penguasaan bidang ilmunya dengan tidak membatasi diri hanya pada satu bidang saja, semakin tinggi ilmunya maka semakin tinggi pula semangat juangnya untuk melawan ketidakadilan, semakin tinggi ilmunya semakin ia peduli dengan persoalan umat dan tidak sibuk hanya mengejar target akademik demi kesejahteraan pribadi. Intelektual muslim sejati, tentu tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf  nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah. Subhanallah itulah profil intelektual muslim sejati.

0 komentar:

Post a Comment