Monday 23 February 2015

Legenda Kampung Kota Surabaya

Meskipun legenda tidak dapat dimasukkan dalam tulisan sejarah karena tidak miliki bukti-bukti atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan (sejarah semu), namun legenda yang menceritakan asal-usul suatu kampung ini banyak beredar di lingkungan masyarakat kampung, bahkan kadang-kadang menjadi kebanggaan dari warga kampung setempat, maka dalam penelitian ini dipandang perlu oleh peneliti untuk dikemukakan meskipun hanya secara garis besar saja.
Inti cerita dan dongeng dongeng yang berkembang tentang pembentukan Surabaya adalah persaingan cinta segitiga antara Pangeran Situbondo putra Adipati Cakraningrat dari Sampang yang cacat dengan Pangeran Jokotruno putra dari Adipati Kediri untuk dapat mempersunting Raden Ayu Probowati. Untuk menghindari raden Situbondo yang cacat, Raden Ayu Probowati mengajukan syarat berupa kesanggupan sang calon untuk membuka hutan (mbabad alas) agar dapat didirikan pemukiman sebanyak dan sebaik mungkin bagi warga Surabaya.
Cerita selanjutnya bermula dari kesanggupan Raden Situbondo untuk membuka hutan, maka ceritapun berawal di daerah kampung yang memakai nama wono (yang arti hutan) dan simo, yaitu singa atau harimau yang ditemukan pada hutan-hutan sebut. Rakyat di daerah Wonokromo dan Wonocolo percaya bahwa kampung- kampung yang mereka diami adalah hasil karya dari Raden Situbondo.
Disebutkan ketika Raden Situbondo membuka hutan, disuatu tempat ia menemukan tumpukan kulit kerang (kupang) yang menggunung, maka setelah selesai ika maka daerah itu dinamakan Kupang Gunung. Di tempat lain ia menemukan daerah yang banyak terdapat kerang yang tersusun rapi sekali menyerupai kerajaan, oleh karena itu daerah ini kemudian diberi nama Kupang Krajan.
Ketika membuka hutan, di salah satu tempat Raden Situbondo berhadapan muka dengan Joko Jumput, dan kemudian keduanya beradu kekuatan. Raden Situbondo kalah, bahkan hampir mati. Untuk nyelamatkan nyawanya Raden Situbondo pergi ke Kedung Gempol dan minum air di kedung itu . Nyawa Raden Situbondo akhirnya dapat diselamatkan, untuk itu daerah tersebut kemudian diberi nama Banyu Urip.
Dalam kaitannya dengan Kampung Banyu Urip ini, pada suatu ketika di daerah Raden Situbondo pernah bertemu dengan singa atau harimau jadi-jadian dari Jin Trung. Setelah singa jadi-jadian itu berhasil diusir maka tempat itu diberi nama Simo Katrungan. Perjalanan dilanjutkan lagi, ternyata tak seberapa jauh, pangeran bertemu lagi dengan singa yang sama. Singa itu ketakutan dan lari terbirit-birit (bahasa Jawa kesusu atau kewagean). Oleh karena itu tempat ini kemudian diberi nama Kampung Simo Kewagean.
Tak jelas akhirnya Raden Kusuma Ning Ayu Probowati menikah dengan siapa, yang agaknya disepakati adalah bahwa pesta perkawinannya dilaksanakan dengan upacara sederhana sambil membuka hutan yang terakhir, yaitu Wonokromo yang berarti hutan perkawinan.
Selain tokoh di atas tokoh lain yang banyak diceritakan dalam babad adalah tokoh Jayeng Rono dan Sawonggaling. Ada salah satu versi cerita tentang dongeng Jayengrono dan Sawonggaling yang dikaitkan dengan Raden Wijaya. Setelah tentara Tar-Tar dapat dikalahkan dan dihalau dari Ujung Gauluh, sebagai penghargaan Raden Wijaya mendirikan sebuah kraton di Surabaya untuk ditempati oleh wakilnya. Yang ditunjuk memimpin Ujung Galuh adalah Adipati Jayengrono. Lama kelamaan hubungan Surabaya Majapahit semakin renggang hingga Surabaya seakan berdiri sendiri. Hal ini berhasil dicapai karena Jayengrono berhasil menguasai ilmu buaya putih.
Alkisah pada suatu saat datanglah utusan dari Kerajaan Mataram yaitu Sawonggaling. Utusan ini adalah seorang sakti yang menguasai ilmu suro dari Kraton Surakarta. Sawonggaling diutus untuk menuntut Surabaya agar bersedia takhluk dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Tentunya hal ini tak dapat diterima oleh Jayengrono. la menantang dan disepakati untuk mengadu kesaktian masing-masing, pertarungan itu disepakati pula dilakukan pada malam Jumat Legi dan akan berlangsung di kali Mas, di sekitar Paneleh Kepatihan. Ternyata pertarungan yang berlangsung selama enam hari enam malam tak membawa hasil kalah maupun menang. Namun pada ketujuh keduanya meninggal kehabisan tenaga dan diarak untuk dipertontonkan kepada penduduk. Pertarungan tersebut membuat Kali Mas menjadi merah dan sisik kedua makhluk tersebut bertebaran di daerah sekitarnya, daerah itu kini dikenal sebagai daerah Semut (dari semut-semut yang mengerumuni sisik-sisik tadi) dan Jembatan merah. Tempat dimana kedua jasad tersebut digantungkan kini bernama Kramat Gantung.
Ada pula dongeng yang menceritakan tentang pembukaan daerah Keputran oleh salah seorang pengikut Raden Situbondo yang bernama Pangeran Joko Taruno. Dalam menjalankan tugasnya ia selalu didampingi oleh pengikut yang setia Savid Panjang.
Daerah yang menjadi tanggung jawab Pangeran Joko Taruno ini adalah Keputran sebelah Daerah itu semula banyak sekali hutannya, diantaranya adalah hutan pohon jambu, karena itu kampung yang berdiri di sana kemudian diberi nama Keputran Kejambon. Sedang daerah yang banyak mengandung tanah liat yang dipergunakan untuk membuat gerabah terutama kemaron (;njun) diberi nama Keputran Panjunan (Surabaya Post Juni 1983).

1 comment: