Manduro adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Kabuh,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Asal mula terbentuknya Desa Manduro
menurut tradisi oral penduduk setempat adalah dari adanya dua orang
pelarian Madura yang kemudian menetap di daerah perbukitan tersebut yang
masih berupa hutan. Kemudian kedua pelarian tersebut beranak pinak
hingga daerah tersebut berkembang sebagaimana kondisi saat ini. Siapakah
kedua pelarian tersebut dan kapan keberadaan pelarian tersebut di Desa
Manduro tidak didapatkan informasi yang jelas.
Menurut Warito (Sekretaris Desa Manduro) berdasarkan informasi yang di dapatkan dari ‘Mbah Lurah Sepuh’, berpendapat bahwa kedua pelarian tersebut adalah dari laskar Trunajaya yang kalah perang, dan karena kalah perang malu pulang ke Madura. Akhirnya para pelarian tersebut menetap diperbukitan kapur, karena perbukitan kapur aman untuk tempat pelarian.
Nasrulillahi (Kasi Kebudayaan ) berpendapat bahwa kehadiran orang Madura di Manduro kemungkinan terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama kemungkinannya saat awal mula berdirinya Majapahit. Gelombang selanjutnya saat Pangeran Purbaya membantu Amangkurat II melawan Belanda, dan gelombang-gelombang berikutnya tidak banyak diketahui lagi.2
Imam Ghozali ar (budayawan Kabupaten Jombang) berpendapat ada dua versi yang berkembang di tengah masyarakat Manduro tentang asal usulnya. Kedua versi tersebut meliputi: pertama, laskar Trunajaya sebagai nenek moyangnya, dan kedua, Pangeran Arya Wiraraja nenek moyangnya.3
Merujuk sejarah perkembangan kerajaan- kerajaan Indonesia, bahwa pada sekitar tahun 1700- an tepatnya 1746-1755 adalah masa kontra antara Kerajaan Mataram dalam hal ini adalah Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi melawan Pemerintahan Belanda yang diakhiri dengan perjanjian Gianti. Pada masa peperangan ini banyak orang Madura yang dikirim untuk membantu Pemerintahan Belanda melawan Kerajaan Mataram.4 Hal ini terjadi setelah Madura dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1743.
Pengiriman orang Madura pada masa Perang Gianti adalah gelombang pertama kedatangan orang Madura secara resmi ke Jawa masa penjajahan Pemerintahan Belanda di Jawa. Orang Madura yang dikirim ke Jawa pada masa Perang Gianti ini adalah kekuatan militer dari kerajaan- kerajaan yang ada di Madura. Kerajaan-kerajaan Madura memberikan bantuan pada Pemerintah Belanda karena saat kerajaan-kerajaan Madura ingin membebaskan diri dari cengkeraman kekuasaan Kerajaan Mataram mendapat bantuan militer dari Pemerintah Belanda pula.
Keterlibatan pengiriman orang-orang Madura berikutnya saat membantu Belanda melawan Untung Surapati di Jawa Timur tahun 1767 dan pada perang berikutnya tahun 1825-1830 dalam perang Diponegoro yang mencapai wilayah-wilayah antara lain Kertosono6, Madiun, Banyumas, Pekalongan, Tegal, Rembang, Kedu, Pacitan, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Pada masa tersebut sangat mungkin orang-orang Madura setelah perang akhirnya menetap di Jawa. Manduro adalah salah satu tempat yang dituju karena daerah geografi yang sama dengan Madura tempat asalnya.
Jika dirunut lebih ke belakang, tahun 1647- 1677 terjadi pemberontakan Trunajaya seorang bangsawan dari Madura. Melalui daerah Rembang setelah menyisir pantai utara Pulau Jawa dari Madura, Trunajaya bersama pasukannya berhasil menaklukkan Kerajaan Mataram dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram di Kediri. Saat Trunajaya dapat ditaklukan tahun 1679, bahwa sangat mungkin orang- orang Madura pengikut Trunajaya melarikan diri daerah-daerah di sekitar Kediri seperti Malang, Kertosono, atau Jombang ketika pusat pemerintahan di Kediri berhasil dikuasai oleh prajurit-prajurit dari Kerajaan Mataram yang dibantu oleh VOC dan Arung Palaka dari Kerajaan Bone, Sulawesi. Maka masuk akal apa yang disampaikan oleh Sekretaris Desa Manduro yang bernama Warito.
Hal menarik lainnya tentang keberadaan orang-orang Madura di Desa Manduro dapat pula dikaitkan dengan sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, bahwa ada disinggung tentang keterlibatan orang-orang Madura yang dipimpin Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya membuka tanah baru di Hutan Tarik yang akhirnya menjadi besar, dan berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar yang disebut Majapahit tahun 1293 Masehi. Dalam sejarahnya Kerajaan Majapahit adalah Kerajaan Hindu terbesar dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pertanyaan yang muncul adalah, bilamana Kerajaan Majapahit diperkirakan berdiri di lembah dekat sungai Brantas, maka situs kerajaan diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Mojokerto. Kabupaten Mojokerto sendiri berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang.7 Bagaimana mungkin orang-orang Majapahit tinggal di pegunungan-pegunungan seperti keberadaan orang-orang Manduro saat ini?
Alternatif jawaban adalah diperkirakan saat terjadinya penyerangan terhadap Kerajaan Majapahit oleh Demak yang beragama Islam pada tahun 1475, hingga jejak Kerajaan Majapahit menghilang dalam kegelapan sejarah. Rakyat Kerajaan Majapahit menyingkir ke gunung-gunung. Contoh yang dapat dikemukakan adalah masyarakat Tengger yang ada di sekitar Gunung Bromo diduga masih lekat dalam kepercayaan Hindu peninggalan Kerajaan Majapahit. Hal ini bisa pula terjadi dengan orang-orang keturunan Madura yang tentunya telah sangat berkembang jika keberadaannya dimulai sejak awal berdirinya Kerajaan Majapahit, menyingkir ke pegunungan- pegunungan, dan Manduro adalah salah satu tempat yang memungkinkan.
Di Desa Manduro tepatnya di Dusun Gesing bagian Utara masih berupa hutan, terdapat bekas bangunan-bangunan yang hanya tinggal puing- puing batu. Tidak jelas puing-puing tersebut merupakan bangunan apa dan peninggalan masa apa. Peninggalan masa Belanda ataukah bangunan peninggalan masa kerajaan Majapahit mengingat dekat dengan wilayah Mojokerto dan wilayah Jombang. Sampai sekarang belum ada penelitian arkeologi yang dilakukan untuk mengungkap peninggalan-peninggalan tersebut. Tetapi penduduk Manduro menyakininya sebagai peninggalan zaman kerajaan Majapahit dan peninggalan zaman Wali/ Sunan terutama Sunan Geseng.
Gelombang kehadiran orang-orang Madura di Jombang selanjutnya tidak banyak diketahui. Menurut Kuntowijoyo, emigrasi penduduk Madura ke Jawa memang telah menjadi sejarah yang panjang. ” ekologi tegai telah mendorong perpindahan penduduk ke Jawa untuk mencari tanah yang lebih baik dan mencari mata pencaharian….”.
Emigrasi yang tajam terjadi sekitar tahun 1900-1930 dari Madura ke Jawa. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Akibatnya populasi di Madura mengalami penurunan yang tajam. Sebagaimana dikemukakan Kuntowijoyo mengenai populasi penduduk Madura pada sekitar tahun tersebut ” Penurunan yang tajam terjadi dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dari 1. 750.511 menjadi 1.738.926. Penduduk kota Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan turun tajam sekali dalam dasawarsa antara tahun 1920 hingga 1930 ….”. Lebih lanjut
Kuntowijoyo menguraikan ” bahwa selain migran-migran temporer, sampai tahun 1930 pemukim-pemukim baru orang Madura banyak yang datang dan menetap di Jawa Timur, dan Jombang adalah salah satu tempat tujuan. Hingga tahun 1930 tercatat orang-orang Madura yang menetap di Jombang mencapai 936 jiwa.
Paparan di atas memberikan asumsi, bahwa sangat mungkin keberadaan orang Madura di Desa Manduro yang saat itu masih berupa hutan, berawal dari jatuhnya Kerajaan Majapahit. Asumsi ini didukung ceritera yang berkembang di kalangan penduduk Manduro tentang situs peninggalan Majapahit dan diperkuat dengan cerita tentang Sunan Geseng yang diyakini pernah bertempat tinggal di Manduro. Sunan Geseng adalah salah satu Wali Jawa yang ikut andil menyebarkan agama Islam pada sekitar abad XV. Bila keberadaan awal penduduk Manduro dikaitkan dengan masa perang Trunajaya sangatlah tidak mungkin, karena perang Trunajaya terjadi pada sekitar abad XVII, maka penduduk Manduro tidak akan mempunyai cerita tentang situs Majapahit dan Sunan Geseng.
Daerah yang pertama kali dijadikan tempat tinggal oleh kedua pelarian saat itu diduga dinamakan Dusun Gesing. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat di Dusun Gesing banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang belum terungkap, juga peninggalan-peninggalan masa penjajahan Belanda.
Nama Dusun Gesing sendiri diambil dari nama Sunan Geseng. Menurut cerita, pada masa hidupnya Sunan Geseng dalam perjalanan penyebaran agama Islam sampai di suatu daerah yang sekarang bernama Gesing. Dibandingkan dusun lainnya, banyak mitos yang berkembang di Dusun Gesing. Antara lain ada tempat yang dikeramatkan yang dinamakan Sendang Weji (gambar 1 dan 2). Dikeramatkan karena dianggap sebagai tempat ‘Nyilem’-nya Sunan Geseng. Bagi penduduk Gesing, Sunan Geseng datang dan menetap di dusun tersebut dan ‘Nyilem’ (menghilang) ke dalam Sendang Weji. Di Sendang Weji menurut penduduk setempat sering terjadi keanehan-keanehan. Keanehan pertama yang pernah terjadi antara lain saat terjadi Gestapu tahun 1965, Sendang Weji ‘nyumber’ darah. Keanehan kedua yaitu saat Indonesia ramai dengan ‘Petrus’ (penembak misterius), permukaan Sendang Weji tertutup ‘rajut’ selama tujuh hari menjelang maraknya kejadian Petrus. Keanehan ketiga yakni di dalam Sendang Weji nampak gambar ‘Gunungan’ saat terjadi pergantian pemerintahan Presiden Megawati kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Demikian pula Sendang Weji dianggap sebagai ‘Yoni’ bagi Dusun Gesing, sehingga setiap acara selamatan desa di Sendang Weji selalu diletakkan ‘tumpeng’ lengkap dengan sajen beserta hasil-hasil panen penduduk Dusun Gesing. Namun ada juga yang berpendapat bahwa daerah yang pertama kali terbentuk adalah Mato’an. Alasannya adalah nama Mato’an selalu dipakai oleh tiga Dusun yang lain seperti Mato’kan Gesing, Mato’an Guwo, dan Mato’an Ndanden.
Asal muasal dusun-dusun yang lain nampaknya juga memiliki cerita-cerita yang unik. Dusun Guwo umpamanya, disebut Dusun Guwo karena tepat di selatan desa ditemukan dinding batu terjal. Menurut sesepuh kampung, di balik batu itu terdapat mulut gua dalam keadaan terkunci (gambar 3). Berdasarkan keyakinan penduduk Manduro hanya satu orang yang sanggup membuka batu besar sebagai pintu goa tersebut. Orang tersebut adalah Kepala Desa Manduro yang sudah almarhum, yakni Pak Saitun. Penduduk Manduro mempercayai bahwa goa tersebut dulunya dipercaya sebagai tempat pertapaan Bung Karno ketika berjuang memerdekakan bangsa Indonesia.
Cerita tentang asal usul Dusun Mato’an lain lagi. Dusun ini diberi nama Mato’an konon berasal dari ‘patokan’ atau tugu. Penduduk setempat meyakini, bahwa pada saat-saat tertentu ‘patokan’ atau tugu tersebut dapat muncul dan menghilang secara tiba-tiba.
Asal usul pemberian nama Desa Manduro tidak ada yang dapat menjelaskan. Ada kemungkinan nama Desa Manduro dulunya adalah Desa Madura, dan disebut Desa Madura karena komunitas penduduk desa tersebut adalah orang Madura. Perubahan nama Madura menjadi Manduro terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai gejala bahasa ‘epentesis’. Epentesis adalah penambahan fonem dalam satu suku kata. Contoh: Upama menjadi Umpama, dan Sadur menjadi Sandur.
Kemungkinan kedua adalah. Idiolek masyarakat setempat. Idiolek adalah sistem ujaran individu. Sistem ujaran individu bila dilakukan oleh banyak orang dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, maka akan menjadi ‘dialek’ masyarakat tersebut. Maka sangat mungkin kata Madura diujarkan atau diucapkan Manduro oleh masyarakat Jombang, atau menjadi Meduro oleh kebanyakan masyarakat Surabaya.
Kemungkinan ketiga, bahwa masyarakat Madura pada umumnya amat memuja tokoh wayang yang bernama Baladewa. Baladewa adalah raja dari Kerajaan Manduro. Bisa sangat mungkin nama Desa Manduro terinspirasi nama Kerajaan tokoh wayang Baladewa ini.
Menurut Warito (Sekretaris Desa Manduro) berdasarkan informasi yang di dapatkan dari ‘Mbah Lurah Sepuh’, berpendapat bahwa kedua pelarian tersebut adalah dari laskar Trunajaya yang kalah perang, dan karena kalah perang malu pulang ke Madura. Akhirnya para pelarian tersebut menetap diperbukitan kapur, karena perbukitan kapur aman untuk tempat pelarian.
Nasrulillahi (Kasi Kebudayaan ) berpendapat bahwa kehadiran orang Madura di Manduro kemungkinan terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama kemungkinannya saat awal mula berdirinya Majapahit. Gelombang selanjutnya saat Pangeran Purbaya membantu Amangkurat II melawan Belanda, dan gelombang-gelombang berikutnya tidak banyak diketahui lagi.2
Imam Ghozali ar (budayawan Kabupaten Jombang) berpendapat ada dua versi yang berkembang di tengah masyarakat Manduro tentang asal usulnya. Kedua versi tersebut meliputi: pertama, laskar Trunajaya sebagai nenek moyangnya, dan kedua, Pangeran Arya Wiraraja nenek moyangnya.3
Merujuk sejarah perkembangan kerajaan- kerajaan Indonesia, bahwa pada sekitar tahun 1700- an tepatnya 1746-1755 adalah masa kontra antara Kerajaan Mataram dalam hal ini adalah Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi melawan Pemerintahan Belanda yang diakhiri dengan perjanjian Gianti. Pada masa peperangan ini banyak orang Madura yang dikirim untuk membantu Pemerintahan Belanda melawan Kerajaan Mataram.4 Hal ini terjadi setelah Madura dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1743.
Pengiriman orang Madura pada masa Perang Gianti adalah gelombang pertama kedatangan orang Madura secara resmi ke Jawa masa penjajahan Pemerintahan Belanda di Jawa. Orang Madura yang dikirim ke Jawa pada masa Perang Gianti ini adalah kekuatan militer dari kerajaan- kerajaan yang ada di Madura. Kerajaan-kerajaan Madura memberikan bantuan pada Pemerintah Belanda karena saat kerajaan-kerajaan Madura ingin membebaskan diri dari cengkeraman kekuasaan Kerajaan Mataram mendapat bantuan militer dari Pemerintah Belanda pula.
Keterlibatan pengiriman orang-orang Madura berikutnya saat membantu Belanda melawan Untung Surapati di Jawa Timur tahun 1767 dan pada perang berikutnya tahun 1825-1830 dalam perang Diponegoro yang mencapai wilayah-wilayah antara lain Kertosono6, Madiun, Banyumas, Pekalongan, Tegal, Rembang, Kedu, Pacitan, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Pada masa tersebut sangat mungkin orang-orang Madura setelah perang akhirnya menetap di Jawa. Manduro adalah salah satu tempat yang dituju karena daerah geografi yang sama dengan Madura tempat asalnya.
Jika dirunut lebih ke belakang, tahun 1647- 1677 terjadi pemberontakan Trunajaya seorang bangsawan dari Madura. Melalui daerah Rembang setelah menyisir pantai utara Pulau Jawa dari Madura, Trunajaya bersama pasukannya berhasil menaklukkan Kerajaan Mataram dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram di Kediri. Saat Trunajaya dapat ditaklukan tahun 1679, bahwa sangat mungkin orang- orang Madura pengikut Trunajaya melarikan diri daerah-daerah di sekitar Kediri seperti Malang, Kertosono, atau Jombang ketika pusat pemerintahan di Kediri berhasil dikuasai oleh prajurit-prajurit dari Kerajaan Mataram yang dibantu oleh VOC dan Arung Palaka dari Kerajaan Bone, Sulawesi. Maka masuk akal apa yang disampaikan oleh Sekretaris Desa Manduro yang bernama Warito.
Hal menarik lainnya tentang keberadaan orang-orang Madura di Desa Manduro dapat pula dikaitkan dengan sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, bahwa ada disinggung tentang keterlibatan orang-orang Madura yang dipimpin Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya membuka tanah baru di Hutan Tarik yang akhirnya menjadi besar, dan berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar yang disebut Majapahit tahun 1293 Masehi. Dalam sejarahnya Kerajaan Majapahit adalah Kerajaan Hindu terbesar dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pertanyaan yang muncul adalah, bilamana Kerajaan Majapahit diperkirakan berdiri di lembah dekat sungai Brantas, maka situs kerajaan diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Mojokerto. Kabupaten Mojokerto sendiri berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang.7 Bagaimana mungkin orang-orang Majapahit tinggal di pegunungan-pegunungan seperti keberadaan orang-orang Manduro saat ini?
Alternatif jawaban adalah diperkirakan saat terjadinya penyerangan terhadap Kerajaan Majapahit oleh Demak yang beragama Islam pada tahun 1475, hingga jejak Kerajaan Majapahit menghilang dalam kegelapan sejarah. Rakyat Kerajaan Majapahit menyingkir ke gunung-gunung. Contoh yang dapat dikemukakan adalah masyarakat Tengger yang ada di sekitar Gunung Bromo diduga masih lekat dalam kepercayaan Hindu peninggalan Kerajaan Majapahit. Hal ini bisa pula terjadi dengan orang-orang keturunan Madura yang tentunya telah sangat berkembang jika keberadaannya dimulai sejak awal berdirinya Kerajaan Majapahit, menyingkir ke pegunungan- pegunungan, dan Manduro adalah salah satu tempat yang memungkinkan.
Di Desa Manduro tepatnya di Dusun Gesing bagian Utara masih berupa hutan, terdapat bekas bangunan-bangunan yang hanya tinggal puing- puing batu. Tidak jelas puing-puing tersebut merupakan bangunan apa dan peninggalan masa apa. Peninggalan masa Belanda ataukah bangunan peninggalan masa kerajaan Majapahit mengingat dekat dengan wilayah Mojokerto dan wilayah Jombang. Sampai sekarang belum ada penelitian arkeologi yang dilakukan untuk mengungkap peninggalan-peninggalan tersebut. Tetapi penduduk Manduro menyakininya sebagai peninggalan zaman kerajaan Majapahit dan peninggalan zaman Wali/ Sunan terutama Sunan Geseng.
Gelombang kehadiran orang-orang Madura di Jombang selanjutnya tidak banyak diketahui. Menurut Kuntowijoyo, emigrasi penduduk Madura ke Jawa memang telah menjadi sejarah yang panjang. ” ekologi tegai telah mendorong perpindahan penduduk ke Jawa untuk mencari tanah yang lebih baik dan mencari mata pencaharian….”.
Emigrasi yang tajam terjadi sekitar tahun 1900-1930 dari Madura ke Jawa. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Akibatnya populasi di Madura mengalami penurunan yang tajam. Sebagaimana dikemukakan Kuntowijoyo mengenai populasi penduduk Madura pada sekitar tahun tersebut ” Penurunan yang tajam terjadi dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dari 1. 750.511 menjadi 1.738.926. Penduduk kota Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan turun tajam sekali dalam dasawarsa antara tahun 1920 hingga 1930 ….”. Lebih lanjut
Kuntowijoyo menguraikan ” bahwa selain migran-migran temporer, sampai tahun 1930 pemukim-pemukim baru orang Madura banyak yang datang dan menetap di Jawa Timur, dan Jombang adalah salah satu tempat tujuan. Hingga tahun 1930 tercatat orang-orang Madura yang menetap di Jombang mencapai 936 jiwa.
Paparan di atas memberikan asumsi, bahwa sangat mungkin keberadaan orang Madura di Desa Manduro yang saat itu masih berupa hutan, berawal dari jatuhnya Kerajaan Majapahit. Asumsi ini didukung ceritera yang berkembang di kalangan penduduk Manduro tentang situs peninggalan Majapahit dan diperkuat dengan cerita tentang Sunan Geseng yang diyakini pernah bertempat tinggal di Manduro. Sunan Geseng adalah salah satu Wali Jawa yang ikut andil menyebarkan agama Islam pada sekitar abad XV. Bila keberadaan awal penduduk Manduro dikaitkan dengan masa perang Trunajaya sangatlah tidak mungkin, karena perang Trunajaya terjadi pada sekitar abad XVII, maka penduduk Manduro tidak akan mempunyai cerita tentang situs Majapahit dan Sunan Geseng.
Daerah yang pertama kali dijadikan tempat tinggal oleh kedua pelarian saat itu diduga dinamakan Dusun Gesing. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat di Dusun Gesing banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang belum terungkap, juga peninggalan-peninggalan masa penjajahan Belanda.
Nama Dusun Gesing sendiri diambil dari nama Sunan Geseng. Menurut cerita, pada masa hidupnya Sunan Geseng dalam perjalanan penyebaran agama Islam sampai di suatu daerah yang sekarang bernama Gesing. Dibandingkan dusun lainnya, banyak mitos yang berkembang di Dusun Gesing. Antara lain ada tempat yang dikeramatkan yang dinamakan Sendang Weji (gambar 1 dan 2). Dikeramatkan karena dianggap sebagai tempat ‘Nyilem’-nya Sunan Geseng. Bagi penduduk Gesing, Sunan Geseng datang dan menetap di dusun tersebut dan ‘Nyilem’ (menghilang) ke dalam Sendang Weji. Di Sendang Weji menurut penduduk setempat sering terjadi keanehan-keanehan. Keanehan pertama yang pernah terjadi antara lain saat terjadi Gestapu tahun 1965, Sendang Weji ‘nyumber’ darah. Keanehan kedua yaitu saat Indonesia ramai dengan ‘Petrus’ (penembak misterius), permukaan Sendang Weji tertutup ‘rajut’ selama tujuh hari menjelang maraknya kejadian Petrus. Keanehan ketiga yakni di dalam Sendang Weji nampak gambar ‘Gunungan’ saat terjadi pergantian pemerintahan Presiden Megawati kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Demikian pula Sendang Weji dianggap sebagai ‘Yoni’ bagi Dusun Gesing, sehingga setiap acara selamatan desa di Sendang Weji selalu diletakkan ‘tumpeng’ lengkap dengan sajen beserta hasil-hasil panen penduduk Dusun Gesing. Namun ada juga yang berpendapat bahwa daerah yang pertama kali terbentuk adalah Mato’an. Alasannya adalah nama Mato’an selalu dipakai oleh tiga Dusun yang lain seperti Mato’kan Gesing, Mato’an Guwo, dan Mato’an Ndanden.
Asal muasal dusun-dusun yang lain nampaknya juga memiliki cerita-cerita yang unik. Dusun Guwo umpamanya, disebut Dusun Guwo karena tepat di selatan desa ditemukan dinding batu terjal. Menurut sesepuh kampung, di balik batu itu terdapat mulut gua dalam keadaan terkunci (gambar 3). Berdasarkan keyakinan penduduk Manduro hanya satu orang yang sanggup membuka batu besar sebagai pintu goa tersebut. Orang tersebut adalah Kepala Desa Manduro yang sudah almarhum, yakni Pak Saitun. Penduduk Manduro mempercayai bahwa goa tersebut dulunya dipercaya sebagai tempat pertapaan Bung Karno ketika berjuang memerdekakan bangsa Indonesia.
Cerita tentang asal usul Dusun Mato’an lain lagi. Dusun ini diberi nama Mato’an konon berasal dari ‘patokan’ atau tugu. Penduduk setempat meyakini, bahwa pada saat-saat tertentu ‘patokan’ atau tugu tersebut dapat muncul dan menghilang secara tiba-tiba.
Asal usul pemberian nama Desa Manduro tidak ada yang dapat menjelaskan. Ada kemungkinan nama Desa Manduro dulunya adalah Desa Madura, dan disebut Desa Madura karena komunitas penduduk desa tersebut adalah orang Madura. Perubahan nama Madura menjadi Manduro terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai gejala bahasa ‘epentesis’. Epentesis adalah penambahan fonem dalam satu suku kata. Contoh: Upama menjadi Umpama, dan Sadur menjadi Sandur.
Kemungkinan kedua adalah. Idiolek masyarakat setempat. Idiolek adalah sistem ujaran individu. Sistem ujaran individu bila dilakukan oleh banyak orang dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, maka akan menjadi ‘dialek’ masyarakat tersebut. Maka sangat mungkin kata Madura diujarkan atau diucapkan Manduro oleh masyarakat Jombang, atau menjadi Meduro oleh kebanyakan masyarakat Surabaya.
Kemungkinan ketiga, bahwa masyarakat Madura pada umumnya amat memuja tokoh wayang yang bernama Baladewa. Baladewa adalah raja dari Kerajaan Manduro. Bisa sangat mungkin nama Desa Manduro terinspirasi nama Kerajaan tokoh wayang Baladewa ini.
0 komentar:
Post a Comment