Saturday 28 February 2015

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang Jawa timur

awalnya pondok ini hanya berupa gubuk ( rumah tua ) yang berada di tengah hutan, dan penduduk di sekitarnya banyak yang lupa, kepada Sang Pencipta, mereka suka berzina, berjudi, mabuk, merampok, menganut ilmu hitam, dll, dan dengan kedatangnya Kyai Tamim Irsyad bersama dengan Kyai Cholil, semuanya berubah menjadi baik, gubuk yang hanya menampung beberapa santri saja, kini menjadi pondok pesantren besar yang mampu menampung ribuan santri, ini semua berkat rahmat Allah SWT, serta do'a dan barokah para kyai pendiri pondok pesantren Darul 'Ulum lainya.


Sejarah Klasik (antara tahun 1885 - 1937 M)

Periode ini merupakan masa - masa pembibitan dan penanaman dasar-dasar berdirinya pondok pesantren. Pemimpin pertama yang mendirikan pendidikan ini, yaitu KH. Tamim Irsyad dibantu KH. Cholil sebagai mitra kerja dan sekaligus menjadi menantunya.Beliau menanamkan jiwa Islam yang diaktualkan dalam bentuk sikap dan juga perbuatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Berdirinya Pondok Pesantren Darul 'Ulum bermula dari kedatangan KH. Tamim Irsyad yang berasal dari Bangkalan Madura ke Rejoso. Beliau adalah murid KH. Cholil Bangkalan. Ketika beliau datang ke Jombang. demi memperbaiki keadaan Ekonomi keluarga KH. Tamim yang memiliki Hikmah besar dalam meneruskan tradisi pengajaran yang pernah ia terima, ditemukanlah Desa Rejoso, tempat secara naluriah Keagamaan KH. Tamim yang amat Representatif sebagai lahan perjuangan menegakkan Islam.

Alasan lain dipilihnya Desa Rejoso sebagai lahan perjuangan menegakkan Islam oleh beliau pondok pesantren yang direncanakan dan merupakan hutan itu, merupakan wadah yang dihuni masyarakat hitam dan jauh dari praktik-praktik sehat menurut norma ajaran Islam. Mereka adalah manusia jahat dalam arti sering melakukan keonaran tanpa memperhitungkan hak manusia tetangganya. Mereka adalah manusia yang tidak memperhatikan tata krama pergaulan hidup dalam kebersamaan. Untuk itulah dua Kyai ini sangat membutuhkan modal yang kuat demi terlaksananya cita - cita membangun masyarakat yang berbeda sama sekali dengan bentuk masyarakat yang ada di situ. Modal tersebut memang telah dimiliki olehnya. KH. Tamim Irsyad adalah ahli dalam syariat Islam disamping memiliki ilmu kanuragan kelas tinggi. Demikian pula KH. Cholil merupakan pengamal ilmu tasawuf disamping memiliki bekal ilmu syariat Islam pada umumnya. Beliau waktu itu telah dipercaya oleh gurunya untuk mewariskan ilmu tharekat qodiriyah wannaqsyabandiyah-Nya kepada yang berhak menerimanya, dengan kata lain beliau berhak sebagai Al-Mursyid (guru petunjuk dalam dunia tharekat).
Pada periode ini sistem pengajaran ilmu pengetahuan dilaksanakan oleh kedua beliau dengan sistem ceramah dan praktikum langsung melalui saluran sarana yang ada pada masyarakat. KH. Tamim Irsyad memberikan pengajian ilmu Al-Qur'an dan Ilmu Fiqih atau hukum syariat Islam, sedangkan KH. Cholil memberikan pengajian ilmu tasawuf dalam bentuk pengamalan thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyah disamping tuntunan ilmu tauhid. Sehingga dengan demikian para murid tidak berat menjalankan syariat Islam.

Oleh kiai Tamim para murid diberikan syariatnya dan oleh kyai Cholil dilatih mencintai yang punya syariat Islam. Adapun sarana untuk kegiatan tersebut ada dua yang masing - masing dibangun tahun 1898 dan tahun 1911, surau itu sendiri sampai sekarang masih terawat baik, dipakai balai pertemuan dan pengajian. Siswa yang tercatat pada periode ini antara lain dari daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, terutama dari Jombang. Mojokerto, Surabaya serta Madura. Jumlahnya sekitar da ratus orang (200 siswa) yang tinggal mondok. Potensi alumnus cukup memadai, sehingga dengannya Darul Ulum pada periode berikutnya berkembang dengan cukup membanggakan.

Sekitar akhir abad sembilan belas (XIX), ketika pondok pesantren ini berkembang cukum meyakinkan. didatangkanlah kiai Syafawi adik kyai Cholil dari Demak Jawa Tengah untuk membantu kelancaran pengajian. terutama bidang studi Ilmu Tafsir dan Ilmu Alat. Namun sayang, KH. Syafawi tidak bertahan lama, karena pada tahun 1904M beliau meninggalkan dunia fana ini. 20 tahun berikutnya (1930) Kyai Haji Tamim Irsyad menyusul Innalillah Wainna Ilaihirojiuun. Namun. sebelum beliau wafat telah mengkader putranya yang kedua yaitu KH. Romli Tamim, sebagai figur Pimpinan Darul Ulum periode kedua. Sepeninggal kedua beliau diatas, Kyai Cholil tinggal sendiri mengemban amanat kelangsungan hidup sarana pendidikan yang dibina. Dalam kesendiriannya inilah Kyai Haji Cholil mengalami Jadzab (menurut istilah Pondok Pesantren), atau barangkali terserang depresi psychis (menurut istilah Psychologi).
Setelah Kyai Cholil dapat memecahkan problem pribadinya tersebut barulah beliau bangkit mengemban amanatnya yang semakin komplek. la sekarang yang memegang semua bidang studi, yang dulu dipegang berdua.Tugas-tugas tersebut akhirnya oleh Kiai Cholil dapat didelegasikan kepada Generasi Penerus tanpa menimbulkan goncangan sosial berarti yaitu dengan datangnya KH. Romly Tamim putra kedua KH. Tamim Irsyad atau adik ipar KH. Cholil dari Studi di Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1927 M.

KH. Romli Tamim pulang ke Rejoso dibekali oleh gurunya beberapa santri  antara lain yaitu: KH. Akhmad Jufri (Karangkates Kediri) dan KH. Zaid Buntet (Cirebon). Dengan kata lain Kiai satu ini dapat menyelesaikan regenerasi dengan mulus tanpa menimbulkan kesenjangan antar generasi sebelum dengan generasi sesudahnya melalui lantaran lahirnya KH. Romli sebagai tokoh. Tongkat estafet kepemimpinan tersebut akhirnya dapat diselesaikan kyai cholil dengan bukti munculnya tokoh-tokoh baru Pondok Pesantren peninggalan beliau tahun 1937 M. (wafat 1937M). Tokoh tersebut antara lin Kyai Haji Romli putra Kyai Haji Tamim Irsyad dan Kyai Haji Dahlan Cholil putra Kyai Haji Cholil. Dua tokoh inilah yang memimpin perkembangan pondok pesantren ini pada periode pertengahan.

Periode Pertengahan (antara tahun 1937 - 1958 M)

Pondok pesantren yang telah berdiri bagai batu karang di laut, tetap tegar walau ombak menghempas datang. Ditengah-tengah gelombang juang bangsa Indonesia meneriakkan kata merdeka pada saat itulah generasi muda meledakkan dadanya dalam bentuk koperasi, gerakan politik, maupun bentuk yang lain. Mereka hanya mempunyai satu tujuan, Indonesia harus merdeka.

Generasi Pondok Pesantren ini pun tidak pernah ketinggalan meski dalam bentuk gerakan yang lain. Sepeninggal tokoh-tokoh tua, muncul Kyai Romli Tamim dan Kyai Dahlan Cholil sebagai tokoh muda yang baru saja menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang di asuh Kyai Haji Hasyim Asy'ari serta mengembangkan Ilmi Pengetahuan yang diperolehnya dari studi beliau di Mekkah Saudi Arabia. Kyai Haji Dahlan Cholil pulang ke Rejoso tahun 1932 dan kemudian disusul oleh adiknya yang bernama Kyai Haji Ma'sum Cholil tahun 1937 merupakan tokoh-tokoh muda yang selalu menyingsingkan lengan dengan ikut bersama bangsa dalam bentuk mencerdaskan bangsa lewat sarana pendidikan yang dibinanya. Pada periode inilah Pondok Pesantren ini menunjukan identitas yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari nama Pondok Pesantren yang diberikan oleh Beliau yaitu DARUL 'ULUM (Gudang Ilmu) pada tahun 1933 M.

Tokoh tersebut menekankan bahwa penanaman Darul Ulum buka hanya sekedar mengambil nama besar Madrasah Darul Ulum yang ada di Makkah Saudi Arabia yang secara kebetulan beliau juga merupakan tokoh Madrasah tersebut waktu masih berdomisili di sana. Namun lebih dari itu ingin mengambil contoh sebagai wadah sarana pendidikan yang mempunyai corak khas diantara sarana pendidikan yang ada waktu itu. Yaitu untuk mencetak manusia-manusia muslim yang tahan cuaca.tidak mudah tergoncang bergantinya masa dan model.Hati tetap erat merapat disisi Alloh walau bagaimanapun keadaanya.Badan kuat menahan godaan hidup. Inilah baru Muslim.

Waktu siang maupun pagi siswanya diajak langsung oleh beiau bertanam, berdagang menanti rezeki. Jika malam mereka bersujud khusu' menanti hidayat Alloh, dan jika fajar telah datang menyambutnya, mereka tersenyum cerah berkat telah datang, mereka masih diberi kesempatan memandang alam.Pendidikan semacam inilah, hasilnya ternyata cukup mengagumkan dan ini telah dirasakan oleh Pondok Pesantren Darul Ulum.

Pengkajian ilmu pengetahuan pada periode ini semakin mekar di daerah lain pada umumnya, bukan lagi hanya berliku-liku di daerah ilmu pengetahuan agama saja. Disamping itu pembagian tugas antara tokoh-tokoh yang ada semakin jelas. Kyai Romli Tamim memegang kebijakan umum Pondok Pesantren serta ilmu thasawuf dan thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyahnya, KH. Dahlan Cholil memegang kebijakan khusus siasah (manajemen) dan pengajian syariat plus Al-Qur'an. Sedang Kyai Ma'soem Cholil mengemban organisasi sekolah dan managementnya. Sementara itu Kyai Umar Tamim adik Kyai Romli Tamim sebagai pembantu aktif di bidang kethareqatan. Semua tugas tersebut masing-masing dibantu oleh santri-santri se­nior, seperti KH. Ustman Al Isyaqi yang berasal dari Surabaya dalam praktikum qodiriyah wannaqsyabandiyah.
Ciri khas alumni pada periode ini seakan dapat dijabarkan melalui dua bentuk, antara lain sebagai berikut:

    Bentuk salikin atau ahli praktikum thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyah. Mereka ini adalah lulusan amalan thareqat di bawah asuhan KH. Romli Tamim Irsyad. Sebagian mereka telah menjadi Al-Mursyid sejak zaman KH. Romli Tamim
    Bentuk huffadz atau penghafal Al-Qur'an, yang merupakn huffadz andalan di masing-masing daerahnya. Mereka ini adalah lulusan madrasah huffadz Al-Qur'an di asuh langsung oleh KH. Dahlan Cholil.

Dalam perjuangan fisk membela negara peran ponpes tidak tanggung-tanggung. sebut Pondok Pesantren ini memang letaknya diperbatasan garis Demarkasi tentara pejuang dengan tentara penjajah. Apabila belanda telah menguasai Mojokerto, bukan main 2sibuknya penghubung dan penghuni pondok pesantren ini,tidak terkecuali kyai-kyainya. Ishomudin - putra KH. Romli Tarnim tertembak jatuh menghadap Alloh langsung oleh pelor Belanda pada tahun 1949 M.

Demikian pula KH. Romli Tamim sempat menginap di rumah KN1L Mojoagung karena tertangkap Belanda. Ini semua merupakan ikistrasi keterlibata Pondok Pesantren Darul TJlum dalam perjuangan tlsik memperjuangkan tanah Indonesia merdeka. Merdeka kata pejuang , merdeka pula para kyai. Kebenaran hams di perjuangkan sampai tubuh ini memat dimakan tanah. Karena tekad demikian itulah KH. Romli dan KH. Dahlan sebagai tokoll utama membiarkan santri serta simpatisannya menjadikan pondok pesantren ini sebagai markas tentara Hisbulloh pada kelas D menghajar tenlara Belanda. Kereta api sempat diledakkan oleh pejuang Hisbulloh di muka pondok pesantren yang dekat dengan rel kereta api ini.

Pada tahun 1938 didirikanlah sekolah klasikal yang pertama di Darul 'Ulum yang di beri nama Madrasah Ibtidaiyyah Darul TJlum. Sebagai tindak lanjut sekolah tersebut pada tahun 1949 M didirikan arena belajar untuk para calon pendidik dan da'wah. dengan nama Madrasah Muallimin (untuk siswa putra) dan 6pada tahun 1954 M berdirilah sekolah yang sama untuk kaum putri. Sekolah tersebut di huni sekitar 3000 siswa.Pada bagian lain keluarga besar Darul TJlum yaitu Jam'iyah thareqat qadiriyah wan naqsyabandiyah. Anggota latihnya meliputi Jombang dan menembus daerah-daerah kabupaten lainya di Jawa Timur. Jawa Tengah dan Jawa Barat. bahkan ada Sulawesi selatan. Jumlah anggotanya puluhan ribu, dapat disaksikan di pusat latihan Rejoso jika Jam'iyah ini mengadakan perayaan khusus bagibagi warganya. Yang lazim adalah tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan sya'ban, bulan Muharrom dan bulan Rabi'ul akhir.
Periode ini di tutup pada tahun 1958, yang di tandai dengan kematian dua tokohnya, yaitu KH. Dahlan Cholil pada bulan sya'ban, disusul oleh KH. Romli Tamim pada bulan Raomadlon. Innalillah wa innailaihi raji'un.

Periode Baru Fase Pertama (1958 - 1985)
Sepeninggalan kedua tokoh tersebut, pondok pesantren Darul 'Ulum mengalami kesenjangan kepemimpinan, terutama dalam bidang thareqat dan pengajian ilmu Al-Qur'an dengan segala ilmu bantuanya. Kejadian ini dapat dimaklumi karena dua tokoh yang telah tiada tersebut merupakan tokoh besar, serta piawai dalam bidangnya.

KH. Romli, mempunyai reputasi pasca sarjana dalam kehidupan thareqat di daerah Jombang maupun di kalangan Nasional, demikian pula halnya KH. Dahlan, reputasi dalam bidang ke Al-Qur'anan cukup di kenal Ulama semasanya. Ia terkenal sebagai ulama beraliran keras karena itu terkadang tampak kaku tetapi konsisten dengan ilmunya.
Alhamdulillah, pada masa transisi antara tahun 1958 - 1961 ini adalah tokoh pendamping kedua almarhum, yaitu KH. Ma'soem Kholil yang selama ini berdomisili di Jagalan Jombang.
KH. Ma'soem selama kepemimpinanya Darul 'Ulum cukup memuaskan berkat ditemukanya tokoh yang sebelumnya terpendam Kyai Ma'soem sendiri belum sempat menikmati upaya tersebut tclah wafat pada tahun 1961 M. Tokoh baru yan di maksud adalah lahirnya Kyai Bishri Cholil dan KH. Musta'in Romly sebagai pemimpin utama pada ketokohan periode baru fase pertama ini. Masa ketokohan KH. Musta'in dan KH. Bishri. antara tahun 1962 sampai 1985 Darul 'Ulum banyak mengalami pembaharuan dalam bidang Struktur organisasi. bidang bentuk pendidikan maupun dalam bidang sarana fisik, perubahan tersebut antara lain bisa dilihat di bawah ini.
Bidang Struktur Organisasi.
Pondok Pesantren Darul 'Ulum sejak tahun ajaran 1962 Struktur organisasinya berubah. Distribusi tugas secara terperinci dijelaskan melalui buku panduan dan papan Struktur. Ini merupakan kemajuan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Struktur tersebut dijabarkan dalam bentuk tiga dewan.
Dewan Kyai : Merupakan badan tertinggi. Beranggotakan para sesepuh Pondok Pesantren. Badan ini di pimpin oleh KH. Bishri Colil dan KH. Musta'in Romli. Badan ini merupakan dewan penentu kebijaksanaan prinsipil di Darul 'Ulum.
Dewan Guru : Merupakan badan pelaksana kebijaksanaan dewan kyai dalam bidang kontinuitas pendidikan. Badan ini beranggotakan guru-guru yarig dipimpin oleh KH. Musta'in Romli.
Dewan Harian: Merupakan dewan pelaksana harian dewan Kyai dalam bidang Administrasi Management dan kegiatan sosial. Badan ini beranggotakan santri-santri, guru-guru yunior dipimpin oleh Kyai Aehmad Badawi Cholil, tokoh motor pembaharuan managemen organisasi periode ini.

Dewan Keuangan: Pada tahun 1968 M untuk lebih menerbitkan administrasi keuangan. dibentuklah dewan keuangan yang ditangani oleh Kyai Muh. As'ad Umar.

Bidang Pendidikan
Berbicara mengenai masalah pendidikan. ini merupakan misi utama pondok pesantren Darul 'Ulum yang setiap jengkal langkahnya selalu tidak bisa lepas dari suatu upaya peningkatan kualitas bidang ini. Materi pendidikan yang di berikan pada periode ini hampir semua macam bidang study lelah dimasukkan dalam program yang ada. Berbeda dengan sebelumnya hanya terbatas bidang agama ditambah umum yang diberikan. Ini dilakukan oleh pengasuh untuk menyediakan fasilitas yang sempurna bagi siswa-siswa pondok pesantren apabila kelak harus terjun ke masyarakat. Dan merupakan kelanjutan Pondok Pesantren atas tantangan masyarakat lingkunganya.

Dengan masuknya beragam bidang studi umum tersebut, bukan berarti menelantarkan jam-jam kegiatan studi agama dan sakral agama yang telah mapan. Malah keduanya disejajarkan, diselaraskan dan diberinya ruang gerak berjalan secara smooth dalam wadah yang sama. Pada tahun 1965 di Darul Ulum dibukalah Universitas Darul 'Ulum sebagai kelanjutan wadah pendidikan yang perkembangannya antara tahun 1965 - 1969 M.

Universitas tersebut memiliki Fakultas Alim Ulama, fakultas Hukum, fakultas Sosial Politik dan fakultas Pertanian. Pada tahun ini (1989) setelah mengalami pasang surut, Universitas Darul 'Ulum telah memiliki enam Fakultas, antara lain :
Fakultas Hukum
Fakultas Sosial Politik
Fakultas Ushuluddin (Sebagai ganti fak. Alim Ulama)
Fakultas Ilmu Pendidikan
Fakultas Ekonomi
Pada tahun 1967 sekolah dan madrasah yang berada di naungan Darul Ulum dibagi dalam dua program studi. Program studi yang beralifiliasi dengan Departemen Agama dan Program studi yang mengikuti program studi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu masing-masing program studi tetap dinaungi oleh warna kepondokan pesantren Darul Ulum sebagaimana semula, yang akurat dan tradisional itu. Selanjutnya sekolah-sekolah tersebut pada tahun berikutnya (1968) yang beralifiliasi dengan DEPAG dinegerikan melalui Surat Keputusan Menteri Agama No : 67 tahun 1968.
Bidang Sarana Fisik
Penyediaan sarana fisik mutlak dibutuhkan bagi terwujudnya mekanisme pendidikan. Disamping memanfaatkan bangunan gedung yang ada, Darul 'Ulum juga menambahkan lagi beberapa gedung untuk asrama dan gedung sekolah. Di pihak lain penyediaan fasilitas pendidikan juga bertambah, seperti yang terlihat di bawah ini.

1. Pada tahun 1954 dibukalah Madrasah Mu'alimat atas, satu bentuk sekolah setingkat SMA Khusus bagi siswa putri.
2. Pada tahun 1960 Pimpinan Darul 'Ulum bersama alumni yang telah meyebar di perguruan tinggi maupun di arena pejuangan sosial di daerah Surabaya, Malang dan Yogyakarta menciptakan wadah gerak yang disebut HESDU (Himpunan Eks Santri Darul 'Ulum). Organisasi ini pada kongresnya I Di Malang mengubah namanya dengan IKAPPDAR (Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Darul 'Ulum).
3. Pada tahun 1965 mempunyai tanah milik di Jombang sebagai lokasi berdirinya Universitas Darul 'Ulum.
4. Antara tahun 1959 - 1982 telah pula disempurnakan fasilitas belajar, ibadah maupun asrama tempat tinggal.
Demikianlah pembaharuan dan perubahan yang terjadi pada periode ini. Sementra itu kepemimpinanya juga terjadi tambal sulam. Seperti yang terjadi pada tahun 1969 sepeninggalan KH. Bishri yang wafat, kedudukan beliau diambil alih oleh adiknya yaitu KH. Sofyan Cholil sebagai patner utama KH. Musta'in Romly. Pada tahun 1978 M KH. Sofyan Cholil wafat, kedudukanya di ganti oleh KH. Muh. As'ad Umar

Periode Baru Fase Kedua (1985 - 1993)
Perkembangan Kelembagaan Darul 'Ulum pada fase ini mengalami perubahan dan kemajuan sesuai dengan tuntutan mana­gerial yang dikehendaki oleh kemajuan kelembagaan Darul 'Ulum Perkembangan itu bisa dilihat di bawah ini.

Perkembangan Kelembagaan.
Pada fase ini pembagian tugas kelembagaan lebih rinci dan disesuaikan dengan Profesi perseorangan yang duduk di personalia lembaga. Ada Yayasan Darul 'Ulum, Yayasan Universitas Darul 'Ulum dan ada Yayasan thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyah yang berpusat di Darul 'Ulum. Masing-masing Yayasan / lernbaga terikat oleh nilai dan norma misi kelembagaan Darul 'Ulum yang termuat garis besar Khittkhah Trisula, yaitu suatu rangkuman nilai dan norma menjadi misi pendidikan Darul 'Ulum. Nilai tersebut bersumber dari nilai-nilai yang berada di lembaga pendidikan Pondok Pesantren Darul 'Uium, Universitas Darul 'Ulum dan thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyah. Jadi, pada periode ini lembaga pendidikan Darul 'Ulum lebih meningkatkan profesionalisme dalam kepengurusan kelembagaan yang dimiliki Darul Ulum : .
1. Lembaga pendidikan Pondok Pesantren Darul 'Ulum.
2. Lembaga Universitas Darul 'Ulum.
3. Lembaga thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyah yang berpusat di Darul Ulum
Bidang Pendidikan.
Lembaga pendidikan kejuruan pada babak ini lebih mendapat tekanan dikembangkan disamping lembaga pendidikan umum dan agama.
1. Pada tahun 1988 dibuka program komputer.
2. Pada tahun 1989 dibuka SMEA Darul 'Ulum.
3. Pada tahun 1991 dibuka Akademi Perawatan Darul 'Ulum.
4. Pada tahun 1992 dibuka Sekolah Teknik Menengah Darul 'Ulum.
Pendidikan kejuruan diatas melengkapi lembaga-lembaga pendidikan di Darul 'Ulum yang telah berkembang pada periode bam fase pertama

Bidang Fisik Bangunan.
Tututan masyarakat akan kelayakan dalam penyelenggaraan pendidikan menyebabkan pimpinan Darul 'Ulum berupaya secara maksimal membangun sarana fisik demi menunjang siswa didik mencapai tujuan pendidikan yang dinginkan.Usaha pembangunan fisik bisa dilihat dari penambahan ruang kelas dan perkuliahan asrarna dan ruang penunjang.

Pada tahun 1986 dibangun gedung perkuliahan fak. Hukum dan Teknik di Jombang. pada tahun 1987 gedung fak. Tarbiya di Jl. Rejoso Peterongan, pada tahun 1990 gedung pertemuan UNDAR berdiri dengan kapasitas 2.000 orang. Sementara di Pondok Pesantren Darul 'Ulum selama berturu-turut dibangun gedung SMA Darul "Ulum tahun 1986 bersamaan gedung asrama Ibnu Siena, pada tahun 1987 dibangun SMA Putri bersama dengan asrama Raden Rahmat, pada tahun 1989 dibangun gedung MAN Rejoso 7 lokal an MTsN 5 lokal bersamaan dengan asrama Bani Tamim dan Al-Ghozali. Dan" terakhir pada tahun 1992 dibangun gedung akademi perawatan Darul 'Ulum.
Semua pembangunan sarana tersebut adalah upaya kongrit Darul 'Ulum memberikan layanan pendidikan
Bidang Kepemimpinan.
Seperti telah dijelaskan pada diktum I.4.1.,kepemimpinan Darul 'Ulum pada periode ini tetap menggunakan sistem keluarga, artinya baik di pondok, di Universitas maupun di thareqat qodiriyah, wan naqsyabandiyah unsur pimpinanya terdiri atas unsur keluarga besar pendiri Darul 'Ulum yaitu KH. Tamim Irsyad, Beliau mempunyai tiga putra :
Pertama : Nyai H. Fatimah istri KH. Cholil
Kedua : KH. Romly Tamim
Ketiga : KH.Umar Tamim

Dari ketiga putra inilah secara tradisonal mewarisi kepemimpinan Darul Ulum sampai pada fase kedua, sesuai dengan kemampuan dan keilmuan yang dimiliki. Di Pondok Pesantren Darul 'Ulum, di Universitas Darul 'Ulum, kepemimpinan dipegang oleh lembaga Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul 'Ulum, di Universitas Darul 'Ulum dipegang oleh pimpinan Yayasan dan Rektorium. Sedangkan di tareqhat dipegang oleh Al-Mursyid.
Adapun Kepemimpinan pada periode baru fase II di Pondok Pesantren Darul 'Ulum secara kolektif berada dalam lembaga Majelis Pimpinan Pondok Pesantren yang personalianya disusun secara struktural berdasar keilmuan dan senioritasnya. Lengkapnya adalah sebagai berikut :
Ketua Umum :
KH. MUH. AS'AD UMAR(ALM)
yang sekarang di gantikan oleh KH. A. DIMYATHIROMLY ,SH, yang merangkap jabatan sebagai Ket.Bid.Khusus Pendidikan
Ketua Bidang Khusus Pendidikan :
KH. A. DIMYATHIROMLY ,SH
Sekretaris Umum :
Drs. KH. CHOLIL DAHLAN
Koord. Alumni dan Ikappdar :
KH. A. TAMIM ROMLY,SH.MSi.
Koord. Keuangan :
Drs. ZA'IMUDDIN WIJAYA AS'AD SU.
Koord. Kesra dan Olah Raga :
Drs. H. MUH. IQBAL HASYIM
Koord. KAMTIB :
ROHMATUL AKBAR, ST.
Koord. Pengajian dan Kepondokan :
M. HAMID BISHRI, SE. Msi

Sumber Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Darul Ulum

Makna Idul Fitri

Lepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, yang jelas, seluruh umat Islam di dunia ini akan segera merayakan hari yang biasa dianggap ‘kemenangan’ tersebut. Perayaan rutin setiap tahun ini menjadi momen sangat penting setelah berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan. Seluruh umat Islam merayakannya dengan suka dan cita, tak berbeda yang rajin puasa maupun yang hanya alakadarnya.
Sebagaimana sudah maklum, selain Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga punya Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Dalam literatur-literatur Islam klasik, hari raya ini disebut Idul Akbar (hari raya besar), sementara Idul Fitri hanya disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil).. Sebagaimana hari-hari besar lain, Idul Fitri tentu memiliki makna umum sebagai hari libur nasional sekaligus makna khusus yang dirasakan umat Islam. Paling tidak, Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan mengalahkan hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh.
Erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri adalah zakat fitrah yang wajib dikeluarkan setiap individu Muslim. Kalimat kedua dari dua terma ini (Idul Fitri dan zakat fitrah) adalah kalimat yang berasal dari bahasa Arab fithrah yang berarti natural atau dalam bahasa Indonesianya biasa diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997)..

Sisi etimologis
Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali’, dari asal kata ‘ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).
Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit (lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah: 115).
Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.
Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna `berbuka puasa’
(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40, 2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.
Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172).” Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya: “Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).” Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.
Sisi terminologi
Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara, dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.
Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya, kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.
Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai `kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.
Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan `perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.
Ikhtisar
– Idul fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni dosanya.
– Cuma, saat ini masih banyak kalangan yang mengartikan Idul Fitri hanya sebagai hari terbebasnya manusia dari kewajiban berpuasa.
– Ada juga kalangan yang menjadikan Idul Fitri sebagai hari pamer kemewahan.
– Mereka yang keliru memaknai Idul Fitri hanya akan menjadi manusia yang saleh secara musiman.

Sumber Makna Idul Fitri

Pacaran Islami

a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejawantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.
b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih kerennya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentleman atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.

Pacaran islami sebelum menikah mungkinkah?

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemuan langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga taaruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Dunia dan Nafsu

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur.Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. 57:20)
Dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud untuk mengatakan atau mengajak zuhud dengan artian menjauhi dunia dengan sebenar-benarnya. Namun, yang penulis maksud adalah bagaimana seseorang mampu mengendalikan dunia, bukan sebaliknya.
Pengertian kehidupan dunia yang umumnya berlaku bagi sebagian masyarakat adalah kehidupan waktu seseorang hidup, kehidupan akhirat adalah kehidupan manusia sesudah mati. Meskipun ada yang meyakini bahwa ia hidup hanya sementara namun hanya sebatas keyakinan. Waktu hidup mereka bisa mengatur sendiri apa-apa yang dikehendaki, kalau ada kesulitan barulah mereka meminta kepada Allah. Kehidupan seperti ini tak ubahnya kehidupan hewani, sebab manusia adalah makhluk sosial ciptaan Allah, maka selayaknya kemana kita berada, mestinya kita tidak bisa melepaskan diri dari aktifitas sosial.
Suatu realita dikalangan mahasiswa, ketika bertemu ada ciri has yang selalu saya dengar selain salam adalah “Sukses ya”. Kata ini merupakan hal yang sungguh mulia. Namun, taukah kita, mungkinkah dibalik kata “sukses” itu bermakna kehidupan meterialistis sebagai tolok ukur sukses atau tidaknya kehidupan sebagaimana yang digambarkan ayat di atas? Yang berangkat kerja dengan pakaian berdasi? Atau yang lainnya? Namun, penulis tetap berharap bahwa yang mereka maksud adalah sukses lahir batin & dunia akhirat.
Sebab, bagi Allah ukuran nilai sukses seseorang adalah ketika seorang hamba taat kepada Allah, hanya menjadikan Allah sebagai Ilah, sebagai Robb dan sebagai Malik.
Imam ghazali dalam Minhajul `Abidin mengatakan:
Dunia adalah musuh Allah, sedangkan Dia adalah kekasihmu. Dunia adalah perusak akal, sedangkan akal adalah hargadirimu.
Pembaca yang dicintai Allah, pernyataan yang pasti pembaca katakan adalah: saya tidak akan mungkin menukar harga diri dengan dunia? Itu adalah pernyataan yang kemungkinan besar pembaca katakan. Namun, ada baiknya kita melihat, bagaimana perbuatan sehari-hari kita menjawab. Apakah cinta dunia dengan sebenar-benarnya, atau tidak? Serta melalikan-Nya atau tidak
Jika dunia ini tetap ada untukmu, maka kamu tidak selamanya hidup di dunia. Lantas, manfaat apa yang engkau dapatkan jika mencari dan menghabiskan umur yang sangat berharga untuknya?
Oleh sebab itu, jalan terbaik adalah belajar. Belajar karena Allah. Karenanya pada dasarnya, dengan bertambahnya ilmu akan dapat meningkatkan pengetahuan seorang Mukmin terhadap berbagai dimensi kehidupan, baik urusan agama maupun yang lainnya; akan dapat meningkatkan kemampuan dan kompetensinya dalam menjalankan tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya; akan mendapatkan derajat yang tinggi; akan lebih bisa mendekatkan diri dan mengenal Allah, Tuhan yang telah menciptakannya serta akan selamat di dunia dan di akhirat.
Barangsiapa yang ingin mendapatkan dunia maka harus dengan ilmu; barangsiapa yang ingin mendapatkan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin mendapatkan keduanya maka harus dengan ilmu.
Dunia, masihkah kita memimpikannya, memuja dan merindunya? Padahal Allah mengatakan:
Katakanlah:Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. 18:103-104)

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 11:15-16)
Seorang penyair mengatakan
Anggap saja dunia ini digiring kepadamu dengan mudah, tapi, bukankah pada akhirnya ia akan sirna?. Apa yang anda harapkan dari kehidupan yag tiada badi? Dan tak lama lagi akan digantikan oleh malam. Duniamu tak lain bagaikan bayang-bayang. Menaungimu dan dengan segera pergi berlalu (meninggalkanmu)
Sedikit uraian di atas, maka seolah-olah kita akan mendapatkan sebuah gambaran pertanyaan dari dunia kepada kita, Maukah engkau tetap mencintaiku? dan jawablah dengan hati nuranimu serta perbuatanmu. Karena, tidak seharusnya orang yang memiliki akal, seperti para pembaca yang budiman ini tentunya, masih saja terlena dengan dunia.
Bagaikan mimpi penghias tidur atau bayang-bayang yang sirna, sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan terbujuk oleh hal-hal seperti itu.

Sumber Dunia dan Nafsu

Sejarah, Hukum dan Praktik Sholat Tarawih

Shalat tarawih adalah bagian dari pada Qiyamu Ramadlan. Karena itu, mari kita lakukan ibadah shalat tarawih dengan sungguh-sungguh dan memperhatikannya serta mengharapkan pahala dan balasan dari Allah swt, Karena Malam Ramadlan adalah kesempatan yang terbatas bilangannya dan orang mukmin yang berakal akan memanfaatkannya dengan baik tanpa ada yang terlewatkan.Jangan sampai kalian meninggalkan shalat tarawih, jika ingin memperoleh pahala shalat tarawih. Dan jangan pula kembali dari shalat tarawih sebelum imam selesai darinya dan dari shalat witir, agar mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Barangsiapa mendirikan shalat malam bersama imam sehingga selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk.” (HR. Sunan, dengan sanad shahih).
Hukum Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan khusus pada malam bulan Ramadlan yang dilaksanakan setelah shalat Isya’ dan sebelum sholat witir.
Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan kaum hawa (perempuan), karena tarawih telah dianjurkan beliau Nabi Muhammad saw kepada ummatnya.
Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar dibulan Ramadlan yang penuh berkah, keagungan dan keutamaan disisi Allah swt. Sebagaimana termaktub dalam Hadist Nabi:
Artinya: Dari Abi Hurairah ra: sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda; “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridlo dari Allah, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan sabda Rasulullah SAW : “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah SAW menggemarkan shalat pada bulan Ramadlan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridla dari Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR: Muslim).
Maksud kata “Qoma Ramadlan dalam hadist di atas adalah melaksanakan ibadah untuk menghidupkan malamnya bulan Ramadlan dengan cara melaksanakan shalat tarawih, dzikir, membaca al-Qur’an dan ibadah-ibadah sunnah lainnya sebagaimana yang dianjurkan beliau Nabi SAW. Dan orang-orang yang melakukannya dengan didasari iman dan mengharapkan keridlo’an Allah, maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lewat.
Sejarah Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan hanya pada bulan Ramadlan, dan shalat tarawih ini dikerjakan beliau Nabi pada tanggal 23 Ramadlan tahun kedua hijriyyah, namun pada masa itu beliau Nabi mengerjakan shalat tarawih tidak di masjid terus menerus, kadang di masjid, kadang mengerjakannya di rumah. Sebagaimana dalam Hadist yang diriwayatkan dari Siti ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra. sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam hari sholat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau, beliau sholat dan pengikut bertambah ramai (banyak) pada hari ke-Tiga dan ke-empat orang-orang banyak berkumpul menunggu beliau Nabi, tetapi Nabi tidak keluar (tidak datang) ke masjid lagi. Ketika pagi-pagi, Nabi bersabda: “sesungguhnya aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali kalau sholat ini diwajibkan pada kalian. Siti ‘Aisyah berkata: “hal itu terjadi pada bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan sholat tarawih, pada malam hari yang ke-dua beliau datang lagi mengerjakan sholat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang ketiga dan ke-empat Nabi tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa beliau takut sholat tarawih itu akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat antusias dan bertambah banyak, sehingga hal ini ada kemungkinan beliau berfikir, Allah sewaktu-waktu akan menurunkan wahyu mewajibkan sholat tarawih kepada ummatnya, karena orang-orang Muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi berat bagi ummatnya. Atau akan memberikan dugaan kepada ummatnya, bahwa sholat tarawih telah diwajibkan, karena sholat tarawih adalah perbuatan baik yang selalu dikerjakan beliau Nabi, sehingga ummatnya akan menduga sholat tarawih adalah wajib. Hal ini sebagaimana keterangan : “Sesungguhnya Nabi ketika menekuni sesuatu dari amal kebaikan dan diikuti ummatnya, maka perkara tersebut telah diwajibkan atas ummatnya.”
Langkah bijaksana dan sangat sayangnya beliau Nabi saw kepada ummatnya. Pada hadist di atas dapat ditarik kesimpulan:
1) Nabi melaksanakan shalat tarawih berjama’ah di Masjid hanya dua malam. Dan beliau tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada ummatnya.
2) Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh rasulullah dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.
3) Dalam hadist di atas tidak ada penyebutan bilangan roka’at dan ketentuan roka’at shalat Tarawih secara rinci.
Jumlah Roka’at Shalat Tarawih Pada Masa Sahabat Abu Bakar Dan Umar Ra.
Shalat tarawih adalah bagian dari shalat sunnah Al-Mu’akkadadah (sholat sunnah yang sangat disunnahkan). sedangkan roka’at shalat tarawih adalah 20 roka’at tanpa witir, sebagaimana yang telah dikerjakan sahabat Umar dan mayoritas sahabat lainnya yang sudah disepakati oleh umatnya, baik ulama’ salaf atau ulama’ kholaf mulai masa sahabat Umar sampai sekarang ini, bahkan ini sudah menjadi ijma’ sahabat dan semua ulama’ madzhab, Syafi’I, Hanafi, Hanbali dan mayoritas Madzhab Maliki, karena dalam Madzhab Maliki ini masih ada khilaf, seperti hadist yang diriwayatkan dari Imam Malik bin Anas ra, Imam darul Hijroh Madinah yang berpendapat bahwa shalat tarawih itu lebih dari 20 roka’at sampai 36 roka’at. Adapun hadist Malik bin Anas adalah sebagaimana berikut: Beliau berkata; ‘“Saya dapati orang-orang melakukan ibadah malam di bulan Ramadlan yakni shalat tarawih dengan tiga puluh sembilan rokaat yang tiga adalah sholat Witir.
Dan Imam Malik sendiri memilih 8 rokaat namun secara mayorits Malikiyyah yaitu sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah yang telah sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20 roka’at, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat dan sempurna ijma’nya.
Shalat Tarawih Pada Masa Sahabat Abu Bakar Ra.
Shalat tarawih Pada masa Kholifah Abu Bakar ra. Umat Islam melaksanakan shalat sendiri-sendirian atau berkelompok ada 3 ada 4 dan ada yang 6 orang.
Pada masa kholifah Abu Bakar shalat tarawih dengan satu imam di masjid belum ada, sehingga pada masa tersebut roka’at shalat tarawihpun belum ada ketetapan yang secara jelas, karena para shahabat ada yang melaksanakan shalat 8 roka’at kemudian menyempurnakan di rumahnya seperti pada keterangan di awal.
Shalat Tarawih Pada Masa Sahabat Umar Ra.
Setelah sayyidina Umar mengetahui umat Islam shalat tarawih dengan sendiri-sendirian, barulah muncul dalam pikirannya untuk mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih di dalam masjid dengan satu imam, sebagaimana keterangan dibawah ini:
Artinya: Dari Abi Hurairah ra, beliau berkata: “Rasulullah SAW keluar di bulan Ramadlan, beliau melihat banyak manusia yang melakukan shalat tarawih di sudut masjid, beliau bertanya, “Siapa mereka?” kemudian di jawab :“Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai al-Qur’an (tidak bisa menghafal atau tidak hafal al-Qur’an), dan sahabat Ubay bin Ka’ab sholat mengimami mereka, lalu Nabi berkata: ‘“benar mereka itu, dan sebaik-baiknya perbuatan adalah yang mereka lakukan”. (HR: Abu Dawud).
Kemudian Sahabat Umar berinisiatif mengumpulkan para sahabat shalat Tarawih dalam satu Masjid dengan satu imam. Sebagaimana keterangan:
Artinya: “Dari ‘Abdirrohman bin ‘Abdil Qori’ beliau berkata; “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khatthab ra ke Masjid pada bulan Ramadlan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjama’ah. Lalu Sayyidina Umar berkata: “Saya punya pendapat andai kata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni shohabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan sholat tarawih dengan berjama’ah di belakang satu imam. Umar berkata: “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjama’ah).” (HR: Bukhari).
Dari sini sudah sangat jelas bahwa pertama kali orang yang mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan tarawih dengan cara berjama’ah adalah sahabat Umar ra, sedangkan jama’ah shalat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan 20 roka’at. Sebagaimana keterangan dari Yazid bin Ruman telah berkata: “Manusia senantiasa melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra. di bulan Ramadlan sebanyak 23 rokaat.” (HR. Malik)
Yang dimaksud 23 roka’at adalah, melaksanakan shalat Tarawih 20 roka’at dan witir. Dengan bukti hadist yang diriwayatkan Sa’ib bin Yazid:
Artinya: “Dari Saaib bin Yazid berkata: “para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadlan sebanyak 20 roka’at. (HR. Al-Baihaqi).
Dua dalil di atas sangat jelas sekali menjelaskan jumlah bilangan shalat tarawih 20 roka’at, dalil tersebut juga dikuatkan dengan perilaku para shahabat yang telah mengikutinya bahkan Sayyidah ‘Aisyah pun juga mengikuti, hal ini telah menunjukkan menjadi ijma’ sahabat karena tiada satu orangpun yang mengingkari atau menentang, begitu juga para ulama’ empat madzhab atau madzhab lainnya. Jadi shalat tarawih 20 roka’at ini sangat jelas dan harus kita ikuti karena ini adalah sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang harus kita ikuti, dan Sayyidina Umar adalah juga salah satu sahabat yang telah diakui kebenarannya oleh Nabi. Sebagaimana sabda Nabi: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati umar”. (HR. Turmudzi).
Dan Hadist Nabi SAW: “Dan sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “maka ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan pentunjuk setelah aku meninggal, maka berpegang teguhlah padanya dengan erat.
Dan Hadist Nabi SAW: “Dari Hudzaifah ra ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda; “ikutilah dua orang setelahku, yakni Abu Bakar dan Umar. (HR. Turmudzi).
Shalat Tarawih Menurut Pandangan Ulama’
“Maka menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabillah, Dan sebagian Malikiyyah, bahwa shalat tarawih adalah 20 roka’at, karena pada hadist yang telah diriwayatkan Malik bin Yazid bin Ruman dan Imam al-Baihaqi dari Saib bin Yazid tentang shalatnya umat Islam di masa Sayyidina Umar bin Khatthab ra dengan 20 roka’at, dan Umar mengumpulkan manusia untuk melakukan tarawih 20 roka’at dengan jama’ah (golongan) yang terus menerus sampai sekarang. Imam As-Sakakyi berkata: Umar telah mengumpulkan para sahabat Rasulullah saw pada Ubay bin Ka’ab ra, kemudian Ka’ab sholat mengimami mereka 20 roka’at, dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya, maka hal itu sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) mereka. Dan Imam Ad-Dasukyi berkata: dan itu yang dilakukan shohabat dan tabi’in, dan Imam Ibnu ‘Abidin berkata: itu adalah yang dilakukan manusia mulai dari bumi timur sampai bumi barat, dan ‘Ali As-Sanhuryi berkata: itu adalah yang dilakukan manusia sejak dulu sampai masaku dan masa yang akan datang selamanya, dan berkata ulama’ Hanabilah: “ini telah yaqin terkenal (mashur) di masa para sahabat, maka ini merupakan ijma’ dan banyak dalil-dali Nash yang menjelaskanya.
Imam Ibnu Taimiyyah dan Syekh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahab juga menegaskan sebagaimana berikut:
Keterangan yang terdapat dalam sebuah kitab “Tashhih Hadistis Sholah At-Tarawih Isriina Roka’ah“ . Imam ibnu Taimiyyah juga sepakat dan berpendapat, bahwa roka’at shalat tarawih 20 raka’at, dan beliau menfatwakan sebagaimana berikut, Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam fatwanya, “Telah terbukti bahwa sahabat bin Ubay bin Ka’ab mengerjakan sholat Ramadlan bersama-sama orang pada waktu itu sebanyak 20 roka’at, lalu mengerjakan Witir 3 roka’at, kemudian mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajiriin dan Anshor, dan tidak ada satupun diantara mereka yang menentang atau melanggar perbuatan itu dan di dalam kitab “Majmu’ Fatawyi Al-Najdiyyah diterangakan tentang jawaban Syekh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahab tentang bilangan roka’at shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat berjama’ah kepada sahabat Ubay bin Ka’ab, maka sholat yang mereka lakukan adalah 20 roka’at’.

Hukum Pacaran Dalam Islam

Jalinan asmara yang dilakukan antara dua lawan jenis yang tidak punya hubungan mahrom (karena nasab, rodho’ atau pernikahan) itu selama tidak ada hajat seperti mu’amalah, nadhor dalam nikah, pengobatan, persaksian tindak kriminal itu harom hukumnya. Apalagi berdua-an ditempat sepi dan kemudian bercumbu rayu, maka dosa yang dilakukan bertambah banyak.
Tidak ada istilah pacaran dalam Islam, pacaran hanyalah budaya yang dikembangkan oleh orang-orang non muslim barat. Sedangkan dalam islam, hubungan yang berkenaan dengan lawan jenis yang ada cuma Nadhor, (melihat wanita dengan maksud akan dinikahi).
Dalam Nadhor calon pengantin laki-laki diperbolehkan melihat kedua telapak tangan dan wajah calon pengantin perempuan, bahkan sebagaian Ashab mazhab hambali memperolehkan melihat anggota badan yang biasanya tampak dilingkungan rumah seperti leher, tangan, talapak kaki.(Is’adurrofiq; 2/125, Bujairimy Al-khotib; 3/372, Mausuah fiqhiyyah ;19/199)
Oleh karenanya kita sebagai umat islam harus selektif dalam mengadopsi berbagai budaya atau tren saat ini. Sebab, aktifitas apa saja haruslah berkesusaian dengan syara’. Dikatakan oleh Hujjatul Islam Al-ghozali bahwa Mizanul umur As-syari’at (barometer kebaikan atau kejelekan suatu perkara itu diukur dengan kaca-mata syari’at agama). Artinya, ketika agama menilai suatu perkara itu jelek maka pertimbangan selainnya seperti akal, rasa dan budaya tidak berlaku. (Mizanul amal Li Abi Hamid Alghozali)

Sumber Hukum Pacaran Dalam Islam

Hukum Wanita Tak Berjilbab

Hukumnya, seorang wanita tidak berjilbab, tapi dia rajin sholat,sopan selalu berbuat baik dengan orang lain dan semua yang jadi perintah ALLAH dikerjakannya.Apakah semua amalan itu tetap dicatat sebagai amal yang sholih, sedangkan kewajiban yang mendasar sebagai seorang wanita belum dipenuhi (menutup aurot/mengenakan jilbab).
Aurot yang wajib ditutup oleh perempuan dihadapan laki-laki yang bukan mahromnya (punya hubungan darah atau perkawinan) adalah seluruh tubuh kecuali dua telapak tangan dan wajah. Sedangkan dihadapan sesama perempuan adalah diantara pusar dan lutut.
Wanita yang rajin beribadah dan berakhlak mulia, namun ia tidak mau menutup aurot dihadapan laki-laki yang bukan mahrom adalah hal yang sangat disayangkan. Sebab ada suatu hadits yang menerangkan bahwa kelak dihari kiamat ada orang yang rajin beramal sholeh, akan tetapi karena gara-gara ia punya kesalahan, maka amalan yang telah ia rintis habis hanya untuk menutupi kesalahan yang telah ia perbuat. (Nihayatuzzain; 47, Bujairimy Al-khotib; 3/372)

Sumber Hukum Wanita Tak Berjilbab

Hukum Provokasi Orang dengan tujuan tertentu


 

PROVOKASI

Provokasi atau ajakan untuk tujuan tertentu yang bersifat negative atau hal-hal yang bernuansa menggembosi seseeorang untuk berbuat baik adalah hal yang tercela dan termasuk perbuatan orang-orang munafiq, sebagaimana firman Alloh Swt. Yang artinya; “Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan sebagian mereka dengan sebagian lainnya sama memerintahkan perkara munkar dan melarang perkara baik (Attaubah; 67)
Sedangkan provokasi dalam rangka kemaslahatan umat atau untuk mendorong berbuat baik adalah hal yang terpuji dan merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Alloh Swt. Yang artinya; Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka mencintai dengan sebagian yang lain, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar. (Attaubah; 71)
Bila isi provokasi dalam misi kemaslahatan nantinya terpaksa menggunakan kebohongan atau rekayasa maka hendaklah tidak berlebihan dan disesuaikan kebutuhan. (Is’adurrofiq 2;72 & 93, Muroq Ubudiyyah; 62).

Hukum Transplantasi Anggota Tubuh

hukum transplantasi anggota tubuhKecanggihan tekhnologi semakin meningkat dan menakjubkan. Rusaknya organ/anggota tubuh manusia dapat diketahui bahkan sampai berapa lama masa bertahan hidupnya dapat diprediksi (meskipun kenyataanya banyak yang meleset atas kehendak-Nya). Bukan hanya itu, anggota tubuh mayat yang masih baik dan tahan lama pun dapat diketahui, bahkan banyak rumah sakit yang berhasil memindah liver atau jantung yang sudah rusak dengan liver dan jantung dari mayat yang masih bisa difungsikn dengan baik.
Bagaimanakah hukum pemindahan anggota tubuh manusia sebagaimana deskripsi di atas?
Bahwa kemuliaan manusia sekaligus anggota tubuhnya sudah jelas difirmankan Allah Swt dalam al-Qur’an. Kehormatan manusia itu mencakup selama masih hidup sampai sesudah mati, sehingga orang yang sudah mninggal harus segera dikuburkan dengan baik, tidak boleh diambil, dimanfaatkan, atau dijual anggota tubuhnya meskipun kepada anak kandung sendiri, meski  juga anggota tersebut sudah sia-sia dan tidak terpakai karena meninggal. Apabila salah satu anggota/organ tubuh sudah terlanjur dengan adanya operasi pemindahan, maka harus dilepas dan dikuburkan. Namun apabila pelepasan itu dapat membahayakan keselamatan nyawa manusia yang bersangkutan maka tidak perlu dilepas. (Mughni al-Muhtaj [1]: 191, Bujairimi ala al-Khatib [1]: 274, Syarwani [2]: 125).

Sumber Hukum Transplantasi Anggota Tubuh

Terapi Botox Menurut Islam

Botox merupakan racun yang diproduksi oleh bakteri klostridium botilinum. Botox sendiri adalah singkatan dari botolinumtoxin. Pada dasarnya toksin bakteri botox dapat menyebabkan keracunan juga kelumpuhan otot perut. Botox untuk terapi dosisnya hanya 1 persen dari dosis yang bisa menyebabkan keracunan sehingga penggunaan botox dengan dosis kecil ini dapat meremajakan wajah secara baik. Pada waktu wajah berekspresi seperti ketika tertawa atau menangis, maka akan tampak garis-garis di samping mata. Garis-garis ini akan bertambah seiring dgn brtambahnya usia. Dengan menyuntikkan sedikit botox pada samping mata, kerutan akan hilang. Dan masih banyak lagi manfaat-manfaat lainnya. Lantas bagaimana agama menghukumi terapi botox?
Hukum terapi botox
Pada dasarnya penyuntikan pada semua anggota tubuh selain wajah itu diperbolehkn. Penyutikan botox pada bagian wajah tidak diperbolehkan karena wajah merupakan kemuliaan semua anggota. Di wajah pula terdapat nilai keindahan dan kecantikan. Hukum terapi botox diperbolehkan bila ada tujuan-tujuan yang dibenarkan oleh syara’ seperti untuk membahagiakan suami, tentunya atas dasar perintah dan persetujuan dari sang suami. Bila terapi botox dimaksudkan agar terlihat lebih muda, merubah bentuk wajah maka tidak diperbolehkan karena ada unsur tadlis (pembauran bagi orang yang memandang), dan ini dilarang syariat dalam semua hal.
Melihat kebanyakan wanita sekarang mempercantik wajah cenderung untuk memikat lawan jenis maka sebaiknya terapi botox ini ditinggalkan. (Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an [5]: 392, Majmu’ Syarh Muhadzab [1]: 290, Nihayah al-Muhtaj [2]: 25).

Sumber  Terapi Botox Menurut Islam

Sejarah dan Perkembangan Ponpes Langitan Widang

Lembaga pendidikan yang sekarang ini dihuni oleh lebih dari 5500 santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan sebagian Malaysia ini dahulunya adalah hanya sebuah surau kecil tempat pendiri Pondok Pesantren Langitan, KH. Muhammad Nur mengajarkan ilmunya dan menggembleng keluarga dan tetangga dekat untuk meneruskan perjuangan dalam mengusir kompeni penjajah dari tanah Jawa
Mushola PP. Langitan putraKH. Muhammad Nur mengasuh pondok ini kira-kira selama 18 tahun (1852-1870 M), kepengasuhan pondok pesantren selanjutnya dipegang oleh putranya, KH. Ahmad Sholeh. Setelah kira-kira 32 tahun mengasuh pondok pesantren Langitan (1870-1902 M.) akhirnya beliau wafat dan kepengasuhan selanjutnya diteruskan oleh putra menantu, KH. Muhammad Khozin. Beliau sendiri mengasuh pondok ini selama 19 tahun (1902-1921 M.). Setelah beliau wafat matarantai kepengasuhan dilanjutkan oleh menantunya, KH. Abdul Hadi Zahid selama kurang lebih 50 tahun (1921-1971 M.), dan seterusnya kepengasuhan dipercayakan kepada adik kandungnya yaitu KH. Ahmad Marzuqi Zahid yang mengasuh pondok ini selama 29 tahun (1971-2000 M.) dan keponakan beliau, KH. Abdulloh Faqih. Untuk lebih jelasnya tentang biografi para Pengasuh Pondok Pesantren Langitan dapat dibaca dalam “Biografi Ringkas Lima Pengasuh Pondok Pesantren Langitan”.

Perjalanan Pondok Pesantren Langitan dari periode ke periode selanjutnya senantiasa memperlihatkan peningkatan yang dinamis dan signifikan namun perkembangannya terjadi secara gradual dan kondisional. Bermula dari masa KH. Muhammad Nur yang merupakan sebuah fase perintisan, lalu diteruskan masa H. Ahmad Sholeh dan KH. Muhammad Khozin yang dapat dikategorikan periode perkembangan. Kemudian berlanjut pada iepengasuhan KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad Marzuqi Zahid dan KH. Abdulloh Faqih yang tidak lain adalah fase pembaharuan.

Dalam rentang masa satu setengah abad Pondok Pesantren Langitan telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa, berawal dari hanya sebuah surau kecil berkembang menjadi Pondok yang representatif dan populer di mata masyarakat luas baik dalam negeri maupun manca negara. Banyak tokoh-tokoh besar dan pengasuh pondok pesantren yang dididik dan dibesarkan di Pondok Pesantren Langitan ini, seperti KH.Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ary, KH. Syamsul Arifin (ayahanda KH. As’ad Syamsul Arifin) dan lain-lain.

Dengan berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif), maka Pondok Pesantren Langitan dalam perjalanannya qenantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontektualisasi dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan manajemen.

Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi memang sebuah konsekwensi dari sebuah dunia yang modern. Namun Pondok Pesantren Langitan dalam hal ini mempunyai batasan-batasan yang kongkrit, pembaharuan dan modernisasi tidak boleh merubah atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren.

Sehingga dengan demikian Pondok Pesantren Langitan tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi, namun justru sebaliknya dapat menempatkan diri dalam posisi yang strategis, dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai alternatif

Pondok Pesantren Perut Bumi Tuban

Tidak salah jika Tuban dijuluki sebagai kota seribu goa, karena memang di wilayah Tuban banyak ditemukan goa, baik yang sudah dikelola pemerintah maupun pribadi atau bahkan yang dibiarkan begitu saja. Ada salah satu goa yang cukup unik dan menarik yang letaknya di dekat jalan raya Gedongombo Tuban. Walau saya sendiri sebenarnya sudah cukup lama mengetahui keberadaan goa yang ada pesantren di dalamnya tersebut namun baru kemarin (16/7/2012) saya menyempatkan diri mampir dan berkunjung ke ponpes perut bumi atau juga disebut sebagai ponpes Syekh Maulana Al-Magribi.

Pesantren ini dibangun oleh KH. Subhan Mubarok berdasarkan bisikan ghaib yang beliau terima. Awalnya lokasi tempat ditemukannya goa ini dipenuhi oleh sampah-sampah masyarakat sekitar. Menurut penuturan salah seorang badal Kyai  berdirinya pondok pesantren perut bumi Syekh Al Magribi adalah tanggal 10 Muharrom sekitar tahun 2002 M. Dinamakan pesantren perut bumi karena letaknya memang berada di kedalaman tanah, tepatnya di dalam goa Gedongombo.

Menurut sang badal tadi gedongombo berarti tempat luas yang banyak dihuni oleh setan dan demit. Dulunya Gedongombo adalah sebuah pegunungan yang banyak dihuni oleh jin-jin jahat. Orang jawa bilang tempat wingit jalmo moro jalmo mati. Tempat keramat siapa yang datang pasti akan mati. Karena tempat tersebut tidak bisa dihuni oleh manusia Syekh Asy'ari atau Sunan Bejagung berunding dengan para wali agar bagaimana tempat tersebut bisa dihuni oleh bangsa manusia. Akhirnya mereka sepakat untuk mengundang sesepuh wali tanah Jawa yaitu Syekh Maulana Al Magribi untuk menumbali tempat angker itu. Oleh Sang Syekh gunung njugruk tersebut diinjak dan tenggelam ke dalam tanah kemudian terbentuklah goa.
Konon bekas telapak kaki Syekh Maulana Magribi masih hingga sekarang. Namun sayang saya belum sempat melihatnya sendiri. Selanjutnya goa bekas injakan kaki Syekh Maulana magribi inilah yang kemudian dibangun masjid dan diberi nama Masjid Ashabul kahfi.

Selain ada masjid Ashabul Kahfi yang unik, lorong-lorong goa pondok pesantren perut bumi ini banyak dihiasai kaligrafi-kaligrafi yang indah bahkan ada tulisan-tulisan yang menyerupai rajah. Saya sendiri tidak paham bacanya. Selain itu juga ada juga kaligrafi yang ditulis dengan huruf jawa. Jika anda penasaran boleh mencoba liburan akhir pekan anda untuk berkunjung ke sana.

Sumber

PONDOK PESANTREN TEBUIRENG (Sejarah dan Perkembangannya)

Pengantar
Tebuireng, nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule). Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren
Pondok Pesantren Tebuireng sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif
Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.
Langkah Antisipatif
Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).
KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI PENDIRI PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA’
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.
At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.
KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI
Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.

Sumber :  Ponpes Tebuireng